20

15.1K 993 89
                                    

Halooo. Sudah mulai aktivitas lagi ya? Sama dong 🤣🤣

❤️❤️❤️❤️

Memang benar kata Mbah Google, kalau wanita hamil itu mood swing-nya terjun bebas dan itu yang aku rasakan sekarang ini. Iya, aku tak suka melihat Mas Hakim ngobrol sama duo A—Amel dan Andrian. Harusnya aku sudah bisa membuang rasa tak nyaman itu karena Mbak Amel sudah move on dari Mas Hakim, tapi nyatanya ....

Aku ingat betul bagaimana kagetnya aku waktu Mbak Amel mengatakan ia sempat menyukai si Juki alias Mas Hakim. Namun, mengetahui suamiku itu memiliki perasaan pada adiknya, dia memilih mundur. Lagipula Mas Hakim juga tak menyambut perasaan Mbak Amel dan  tidak pernah menganggap lebih dari teman juga saudara, tapi tetap saja rasa cemburu itu masih tersisa di hati.

Tanpa sadar aku menghela napas dan tertangkap oleh Mas Hakim makanya dia menoleh. Tatapannya seolah bertanya 'kenapa atau ada apa'. Aku melengos, malas melihatnya. Bagiku dia menjengkelkan dan kalau bisa dia dijauhkan dariku tapi ... nanti aku makan apa? Repot jadinya.

Daripada terus-terusan kesal, aku beranjak dari sisinya. Bayanganku kumpul-kumpul dan bercanda ria ambyar tanpa sebab yang aku sendiri tidak tahu kenapa. Dalam pandanganku semua menjengkelkan.

"Kenapa?" tanya Mas Hakim yang menyusulku ke dapur.

Iya dapur. Aku ingin ke kamar tapi haus, jadi ambil minum dulu. "Nggak apa-apa."

Tidak apa-apa tapi suaraku meninggi. Astaga, sebenarnya ada apa denganku? Kenapa aku jadi mudah jengkel juga marah? Sedikit saja tak sesuai mauku, rasanya ingin makan orang. Terlebih pada dia, sejak mendiamkan aku karena cemburu, kemarahanku padanya naik turun. Kadang muncul kadang hilang tidak bisa menguap begitu saja.

Dia menahan kedua bahuku agar tetap menghadapnya. Tatapan Mas Hakim lekat seolah memiliki magnet hingga tak bisa mengalihkan perhatian darinya. "Lihat Mas," perintahnya. "Ada apa? Apa yang bikin kamu nggak nyaman dan bikin kamu kesal?" tanyanya lembut.

Rupanya dia mulai bisa membaca suasana hatiku yang cepat sekali berubah. Sebentar tertawa, sebentar kesal, atau tiba-tiba menangis tanpa sebab. "Nggak tahu." Benar aku sendiri tidak tahu. Apa mungkin aku masih belum bisa melupakan perbuatan dia padaku? Mungkin juga aku belum puas melampiaskan amarahku padanya? Bisa jadi.

Karena tak mendapat jawaban, dia menggiringku ke kamar. Mengunci pintunya setelah mendudukkan aku di kasur. Dia berlutut—menyamakan tinggi badan—dan menggenggam tanganku erat. Menciumnya beberapa kali sebelum berkata, "Mas nggak tahu apa yang bikin kamu marah, tapi apa pun itu Mas minta maaf. Kalo ada ganjalan keluarkan, Mas siap denger," ujarnya penuh permohonan. "Mas sadar, sikap Mas selama ini bikin kamu sakit hati. Bilang apa yang harus Mas lakuin biar kamu maafin. Biar marahmu hilang."

Bila ditanya seperti itu aku bingung, sebab aku sendiri tidak mengerti apa mauku. Namun, semua terasa salah di mataku dan bikin emosi. Ya ampun, apa yang terjadi sama diriku?

"Cha."

Panggilan itu menarik kesadaran ku dari lamunan. Aku menatap Mas Hakim yang menunggu jawaban tapi ... "Aku nggak tahu," jawabku dengan suara bergetar. Air mata merebak dan meluncur tanpa permisi di pipi. "Aku ... nggak tahu mau apa tapi semuanya bikin aku marah."

Melihatku menitikkan air mata, dia refleks meraihku dalam dekapannya. Mengelus punggungku naik turun. Aku pun melingkarkan tangan di pinggang Mas Hakim, mencengkeram kausnya kuat-kuat. Tak ada suara selain tangisanku. Dia membiarkan aku mengeluarkan semua yang rasa aneh di hati hingga tuntas. Usapan dia pun tak berhenti sampai aku berhenti menangis.

"Maafin Mas. Semua ini salah Mas sampai bikin kamu kayak gini."

Ucapan Mas Hakim cukup mengejutkan, mungkin dia menyadari sikapnya yang membuatku seperti ini. Jujur saja, hingga detik ini terselip keraguan di hati—biarpun sedikit—kalau dia baik hanya karena anak ini—meski sudah bilang cinta padaku. Beberapa pasangan mampu bertahan demi buah hatinya walaupun cinta mereka sudah pudar.

Mas Hakim mengurai pelukannya, menatapku lekat yang sesenggukan lalu menghapus air mataku, dan menahan wajahku untuk menatap dia. "Mau cerita?" Dia menyingkirkan helaian-helaian rambut di pipi. Mengecup ringan kelopak mataku bergantian.

Untuk beberapa saat aku berpikir tak ingin membahas hal yang sudah lalu tapi ... hatiku memberontak. Untuk menormalkan tekanan di dada, aku menghela napas dalam-dalam, mengurai jari-jarinya dari wajahku. "Aku nggak suka lihat, Mas, ngobrol sama Mbak Amel tapi dia kan saudaraku dan duluan kenal Mas, masa nggak boleh ngobrol. Aku juga marah waktu Mas diemin gara-gara Aldo. Kan bukan salahku dia datengin aku. Kayak nggak sepadan aja Mas diemin gara-gara itu, padahal Mas kayak apa selama ini ke aku." Rasanya lega mengungkapkan ganjalan-ganjalan di hati. Begitu ringan dan bebas. Ah, dasar ibu hamil labil.

"Jujur aja aku masih ragu sama Mas. Bisa aja sikap baik itu karena anak ini bukan karena Mas emang ada hati sama aku. Mungkin kemarin itu aku langsung percaya gara-gara omongan Ibu jadi gampang aja baikan sama Mas lagi, tapi ... nggak tahulah."

"Mas harus gimana biar kamu percaya?" tanyanya.

Aku menggeleng kecil. "Nggak tahu. Rasanya aneh aja. Katanya cinta tapi selama in Mas udah bikin aku sakit hati. Kalo cinta kenapa harus kayak gitu? Kenapa nggak berusaha deketi aku malah bikin panas hati sama Mbak Amel."

Mas Hakim berdiri dari berlututnya sekaligus menarikku berdiri. Menghela ke sofa. Dia duduk di belakang dan memelukku. Pelukan mengetat beberapa saat lalu mengendur. "Mas udah bilang kan kalo Mas cari-cari info sekecil apa pun tentangmu. Mas butuh waktu buat yakin, tapi itu salah dan bikin salah paham."

Aku tak membalasnya. Dekapan dia menguat seakan menegaskan bahwa dia benar-benar cinta dan tak ingin kehilangan aku.

"Mas ...."

"Apa pun yang kamu rasakan tolong bilang sama Mas, marah sekalipun jangan dipendam. Kamu boleh lampiaskan sama Mas."

Aku menoleh ke belakang. "Beneran? Aku pukul juga boleh? Pake sapu gitu. Mas, nggak bakal balas, kan? Nggak laporin ke polisi kasus KDRT, kan?" cecarku.

Dia tertawa kencang hingga tubuhku ikut bergerak. Mencium bibirku dengan gemas. "Beneran. Boleh sampai patah juga nggak apa-apa. Aman, Bun," kelakarnya. "Jalan-jalan, yuk. Dari nikah kita belum pernah jalan berdua."

Aku mengubah posisi dudukku menyamping jadi bisa melihatnya. "Ke mana? Yang nggak ngajak jalan siapa?" sindirku dengan lirikan sengit.

"Iya Mas salah. Nggak usah jauh-jauh biar nggak capek kamunya. Mau?"

"Mau, sih, tapi ntar siapa yang bantuin Serly di toko?"

Mas Hakim mengikis jarak kami. Kecupannya terasa di pipi juga bibirku. "Serly pasti bisa atasi. Nggak lama, makanya cari yang deket aja. Mau, ya?" tawar Mas Hakim lagi.

"Tapi ...."

"Nggak lama kok. Bentar aja biar kamu nggak sumpek. Mau, ya? Anggap aja permintaan maaf dari Mas."

Mungkin benar aku butuh suasana baru untuk menenangkan hati. "Iya. Boleh juga belanja-belanja?"

"Boleh," jawabnya.

Senyumku terbit mendengar itu. "Nggak dibatasi, kan belanjanya?" Aku harus memastikannya sebelum menjalankan niatku.

"Nggak."

Aku bersorak. "Budal."

Tbc.

Hilih 😏😏 gitu aja udah seneng. Awas aja ntar mewek-mewek lagi.














(Bukan) Pernikahan TerpaksaWhere stories live. Discover now