14

16K 1.2K 177
                                    

Sore wanita hebat. Semangat yuk, biar makin happy hari kita. Sayang kalian banyak-banyak 😘.

♥️♥️♥️

"Mbak Ocha kami pulang, ya," pamit salah satu karyawan toko dari tengah tangga.

Aku berjalan ke arah tangga, mengangguk. "Hati-hati, ya, nggak usah ngebut bawa motornya."

"Iya. Assalamualaikum."

Aku pun mengembuskan napas kuat, sepi. Sejak pindah ke ruko Serly akan menemani tapi karena ada acara pernikahan kakaknya, dia pulang ke Surabaya. Ah, aku jadi kangen rumah. Jam-jam seperti ini biasanya duduk di sofa depan televisi sambil menemani Mas Hakim ....

Ah, kenapa jadi memikirkan dia? Gara-gara omongan Ibu aku jadi kepikiran terus. Mau bertanya tapi malas dengar suaranya atau lebih tepatnya takut dengan jawabannya nanti.

Untuk mengusir kejenuhan, aku mengambil ponsel lalu duduk di kursi Kimi Armchair yang diletakkan di balkon ruko. Setelah benar-benar nyaman, aku mulai berselancar ke media sosial. Saat membuka akun Instagram, aku sedikit terkejut dimention oleh orang yang tak dikenal. H.R. Pramudya, siapa? Seinggatku aku tak punya teman dengan nama itu.

Dituntun rasa ingin tahu, aku tekan nama yang tertera. Mulutku terbuka, mata berkedip-kedip, dan pikiran kosong. Untuk beberapa saat aku tak mampu bicara hingga suara nyaring knalpot motor menyadarkanku. Ini?

 Ini?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

H.R. Pramudya. Yang dinanti. @Ocha_kamila sehat-sehat sayang.

2 hari lalu.

Ini kan ... setelah pulang dari dokter kandungan.

Banyak komentar yang mengucapkan selamat. Sesekali komentar-komentar itu dibalas oleh pemilik akun. Rasa penasaran pun semakin menjadi. Aku tekan lagi ke akun utama dan sangat mengejutkan. Sama sekali tak percaya, apakah ini ....

H.R. Pramudya Alhamdulillah makannya lahap. ♥️

Unggahan aku makan martabak telur yang dia bawakan empat hari lalu. Keterangan dari foto itu mampu membuat hatiku berbunga-bunga. Tidak ada yang istimewa tetapi stiker love di akhir kalimatnya mencairkan kemarahanku.

Jariku terus bergerak ke bawah, foto-fotoku terpampang hampir separuh dari postingan dia. Bahkan ada saat aku tertidur pulas di rumah Ibu. Ada pula potretku sekitar dua tahun lalu yang aku sendiri tak tahu. Apakah ini ....

Seolah tak percaya, aku scroll lebih bawah hingga habis, tak satu pun menemukan foto berdua dengan wanita lain selain keluarga. Bolehkah aku merasa besar kepala jika sang pemilik akun ini begitu mencintaiku?

Layaknya remaja tengah jatuh cinta, senyumku mengembang, pipi terasa hangat dan aku yakin pasti sudah berubah warna seperti tomat. Tak hanya itu, hatiku langsung berbunga-bunga seperti datangnya musim semi yang tiba-tiba.

Aku membaca setiap caption yang dia buat. Tidak berlebihan tapi seperti ada makna yang tersirat bahwa dia mempunyai rasa yang begitu besar. Namun, bila memang menyukaiku kenapa sikapnya seperti itu? Otoriter, arogan, dan menginginkan semua waktu juga perhatianku padanya. Irit bicara dan tak pernah mendengarku. Jadi ... aku memerlukan penjelasan darinya tentang semua itu.

Me:
Di mana?

Mas Hakim:
Ini baru keluar toko. Kamu mau apa?

Mau apa? Mau dia cepat ke sini tapi aku tak mungkin mengatakannya, bisa malu berdiri aku. Meski hatiku kegirangan tapi ini belum saatnya menerima dia kembali.

Seakan takut terjadi sesuatu denganku, pria itu menelepon. Tidak tahu kenapa, telepon darinya kali ini membuat hatiku berbunga-bunga. Ah,  kenapa efek unggahan itu begitu besar? Marah yang kurasa seolah tertelan bumi. Lenyap. Usai menetralkan suara dan debaran jantung yang kencang, aku mengangkat panggilan Mas Hakim.

"Ya?"

"Kamu kenapa? Tunggu aku udah di jalan ini."

Dia kenapa? Pembicaraan diputus sepihak padahal aku belum menjawab. Suaranya terdengar panik sekali, apa suaraku seperti orang sakit? Aneh sekali dia. Biarlah.

Aku meneruskan membaca setiap keterangan dari unggahan Instagram-nya, terasa sekali bedanya. Guyonan dan balasannya mampu menciptakan senyum dariku. Benar kata Ibu, Mas Hakim termasuk orang supel dan ulah dari orang yang dicintainya mengubah pribadi pria itu.

"Cha!"

Aku mengalihkan perhatian dari layar handphone dengan kening berkerut, tapi aku tetap bertahan di kursi. Derap langkahnya tergesa-gesa.

"Cha! Kamu di mana?"

Aku memperhatikannya dengan baik. Ia membungkuk dengan tangan bertumpu di lutut. Dada yang naik turun karena napas memburu dan suaranya terdengar nyaring. Raut wajah yang ketakutan, keringat pun mengalir turun, dan .... aku menelengkan kepala memperjelas penglihatanku.

Darah? Aku usap mata ini seakan tak percaya dengan yang kulihat. Benar itu darah. Jantungku sontak berhenti. Darah seolah disedot kuat hingga kering, dan tubuku lemas, bahkan untuk berbicara saja tak mampu.

Mas Hakim melangkah lebar ke arahku. Berlutut di depanku, memeriksa setiap senti ragaku. "Kamu nggak apa-apa? Aku khawatir banget kamu nggak balas pesanku. Jawab telepon pun lama. Aku takut kamu kenapa-napa, Cha."

Mas Hakim menarikku dalam pelukannya. Erat, seolah aku akan menghilang darinya. Tubuhnya bergetar, apakah dia menangis? Otakku masih belum sanggup meresponnya dan itu gara-gara darah di bagian lengannya. Apa yang terjadi?

"Kamu boleh marah, benci, pukul, atau ludahi aku, aku terima, tapi jangan pergi dariku. Jangan minta pisah, Cha. Aku rela bolak-balik ke sini asal biarin aku dekat sama kamu." Ia melepas pelukannya, memberi jarak antara kami. Memandangku muram juga basah. Ah, ini kan sosok arogan yang aku benci?

"Aku nggak pernah ada hubungan apa pun dengan Amel. Sumpah demi Allah aku nggak pernah anggap dia lebih dari adik. Dia sama kayak Hani, tapi denganmu beda."

Bolehkan aku bahagia mendengar ucapannya? Mengambil risiko bersamanya meski aku tak tahu bagaimana ke depannya? Aku lelah mengingkari dia terus-menerus. Aku ingin terus di sisinya sampai dia memintaku pergi.

Tak bisa kuhalau air mata yang turun. Entah karena hormon atau aku senang dia baik-baik saja. "Tangan Mas kenapa? Ke ... na ... pa bisa berdarah gini?" Pertanyaan yang aku tahan sedari tadi pun akhirnya lolos. Lengan kemejanya sobek dan basah karena darah.

"Nggak apa-apa. Cuma lecet dikit," ujarnya menenangkanku.

"Tapi itu ...."

Ia menangkup wajahku dengan kedua tangannya, membuatku fokus pada Mas Hakim yang masih berlutut mensejajarkan tinggi kami. "Aku nggak apa-apa. Aku lebih takut kehilangan kamu."

"Tapi aku nggak ke mana-mana," jawabku masih dengan sesegukan.

Kata-kata tak lagi bermakna detik ini. Pelukan kami menjawab semua tanya yang berputar, melebur gelisah dalam  merobohkan tembok penghalang yang berdiri. Mas Hakim bagitu erat memelukku, meluapkan semua emosi dalam jiwa hingga menguap dan tak berbekas.

TBC.

Gimana-gimana part ini? Hakim Bao masih perlu dikasih pelajaran? Komen yang buanyak ya. 🥰



(Bukan) Pernikahan TerpaksaWhere stories live. Discover now