15

17.1K 1.1K 145
                                    

Ada yang kangen OcHa? Cung jari. 😁😁

❤️❤️❤️

Aku meringis saat membersihkan kaki juga lengan Mas Hakim yang terluka, pasti sakit. Ia terjatuh waktu mendahului mobil di depannya, naas dari arah berlawanan mobil melaju ke arahnya, karena terlanjur masuk, Mas Hakim membanting setir ke arah kanan. Namun, body mobil berlawanan arah itu mengenai bagian belakang motor yang dia pakai. Motor Mas Hakim pun oleng dan jatuh di trotoar.

"Ngapain ngebut? Padahal aku nggak ke ... ke mana-mana," omelku di sela-sela tangis seraya mengobati luka-luka dia. "Sakit, ya? Itu lukanya dalem kayaknya, ke klinik aja gimana?" tawarku. Melihat lukanya di beberapa tempat membuatku merasa bersalah. Kalau saja aku tak mengirimkan pesan, pasti dia tidak terluka.

Mas Hakim menggeleng sambil menatapku lekat, sesekali meringis jika lukanya tertekan sedikit kuat. "Nggak apa-apa."

"Nggak apa-apa, gimana? Luka-luka gini, kok. Apa suaraku kayak orang kenapa-napa, ya, sampai Mas ngebut?" Kapas untuk mengobati sudah aku buang sekalian obat antiseptik aku masukkan ke kotak obat.

Detik berikutnya Mas Hakim meraihku dalam pelukannya, erat hingga bernapas susah. Kupukuli tubuhnya sampai pria ini melonggarkan dekapannya meskipun sedikit. Detak jantung pria ini terdengar cepat begitu pula dengan tubuhnya, bergetar kuat. Dia tidak menangis tapi seperti ketakutan.

"Beberapa hari ini aku mimpi buruk. Seseorang membawamu pergi dariku. Suaramu terdengar jauh sama seperti di mimpiku."

"Tapi aku nggak ke mana-mana." Suaraku terdengar serak setelah menangis tadi. Tanganku bergerak mengusap punggungnya naik turun agar tenang.

"Aku nggak pernah bisa tidur tenang pas kamu pergi. Please beri aku kesempatan, Cha. Aku janji bakal berubah," janjinya kembali mendekapku kuat kemudian mengurainya, memberi jarak antara kami, dan menatapku dengan permohonan. Ia seperti tersangka yang meminta ampunan dari hukuman pancung. "Aku nggak pernah ada apa-apa sama Amel, baik dulu maupun sekarang. Dia sudah seperti adikku."

Mas Hakim tiba-tiba saja berlutut di depanku. Dia meringis saat kakinya yang terluka menyentuh lantai. Meraup tanganku dalam genggaman dia. Dia tampak menghela napas dalam sebelum mulai berbicara lagi.

"Aku ... mungkin sikapku selama ini menyakitimu dan membuatmu salah paham. Aku minta maaf." Pria berkemeja lengan pendek warna merah maroon itu lagi-lagi menghela napasnya. Aku memandangnya dalam diam menunggu apa lagi yang akan diucapkan untuk membuatku bertahan.

"Aku sayang kamu. Jauh sebelum kenal Amel, aku sudah lebih dulu suka kamu. Kedengarannya gila, gimana bisa aku suka sama gadis yang sudah menggores cat mobilku dan pergi begitu saja tanpa merasa bersalah. Suka pada gadis tanpa nama. Alamat dan nomor teleponnya saja aku nggak tahu," ceritanya sembari memaku netraku padanya. "Suka sama gadis jelek yang nangis di pinggir jalan gara-gara kucing. Nggak tahu kamu punya apa sampai bisa bikin aku senyum, mikirin kamu. Bahkan tiap kali aku menghadap-Nya selalu minta dipertemukan dan dijodohkan denganmu."

"Tapi kenapa jahat sama aku? Apa Mas nggak mikirin perasaanku?" Pertanyaan yang terus berdengung di kepalaku. Kurasa sekarang waktu yang tepat untuk dikeluarkan.

Pria dengan kumis tipis itu sekarang menarik napas dalam-dalam. Mencium tanganku dalam genggaman dia. "Maaf. Aku hanya terlalu takut kehilanganmu." Dia menatapku dengan binar ketakutan.

Ucapan Mas Hakim menarik kuat dahiku hingga membentuk garis-garis  bergelombang, maksudnya bagaimana?

"Mungkin kamu nggak percaya tapi itu yang aku rasakan. Aku terlalu takut memberimu celah untuk memikirkan orang lain. Terlalu takut membuka lebar hatiku yang memberi peluang menghancurkan diriku." Seolah tahu apa yang aku pikirkan, dia melanjutkan ucapannya. "Dulu ... kami hampir nikah tapi satu bulan sebelum hari itu dia membatalkan acara kami. Dia hamil dengan teman sekolahnya dulu. Ya ... aku terlalu mencintainya sampai aku seperti orang bodoh."

Refleks aku melepas genggaman tangan Mas Hakim dan menyentuh pipinya yang kasar akibat bulu-bulu cambang mulai tumbuh. Aku bisa bayangkan bagaimana rasanya menjadi dia yang dikhianati tunangannya sendiri, sama sakitnya melihat pria ini tertawa dengan Mbak Amel.

Dia mengubah posisi duduknya dan bersandar di sofa bed dekat kakiku. Mas Hakim memejamkan mata kemudian terdengar suara tarikan napas sebelum akhirnya dibuang pelan-pelan. Dia menatapku, beringsut lalu meletakkan kepalanya di pangkuanku.

Kularikan jari-jariku di rambut legam pria berusia tiga puluhan ini. Menyugar lembut sebagai bentuk dukungan untuknya. Mungkin hatiku terlalu lemah, kemarahan itu pergi berganti iba, bukan berarti aku tak menuntut penjelasan tentang hubungan Mas Hakim dan Mbak Amel.

"Apa pun yang dia katakan aku percaya. Nggak pernah terlintas di pikiranku dia akan berpaling. Bahkan ketika dia minta untuk nggak datang ke rumahnya atau meneleponnya, aku turuti, mungkin dia sedang ingin menikmati waktu sendiri. Aku percaya dia wanita yang bisa menjaga kepercayaanku ternyata ... alasan aku meminta semua waktu, pikiran, dan perhatianmu agar kejadian itu nggak terulang lagi," jelasnya sambil melihatku. "Tapi sikapku malah bikin kamu pergi. Maaf."

"Artinya Mas pikir aku sama kayak mantan tunangan, Mas?" cetusku spontan. Aku tidak marah tapi penting mengetahui isi kepalanya. Bisa dipahami jika dia berpikir seperti itu sampai berlaku sangat menyebal dan jahat.

Dia terdiam seolah ingin membantah tebakanku tapi akhirnya dia membenarkan kata-kataku. "Meskipun aku mencintaimu tapi pikiran buruk itu nggak sepenuhnya hilang. Perasaan takut itu masih melekat, dan aku masih nggak bisa percaya penuh samamu," akunya.

Kepaku menggeleng mengetahui hal itu. Di satu sisi aku paham, di sisi tak membenarkan tindakannya. Orang sepintar dia pun bisa jadi bodoh saat ketakutan menghinggapi. Astaga. Kutangkap wajahnya untuk menatapku. Dia menurut saja, membalasan tatapanku. "Dengerin, ya. Mas itu mapan,pinter, ganteng tapi bodoh. Itu mulut bisa buat ngomong. Aku udah berusaha lho setahun ini buat deket sama Mas, gimana bisa Mas nggak ada sedikitpun pikiran buat ceritakan semuanya sama aku."

Aku menghela napas sejenak sebelum melepaskan tangkupanku di wajahnya. Tanpa dia duga aku menamparnya keras, sangat keras hingga tanganku panas dan wajahnya terpental ke samping. Dia kembali memandangku tanpa mau berkata. "Itu buat sakit hatiku karena Mas bikin aku nangis dan sakit hati. Sebenarnya masih belum puas tapi aku nggak mau anakku sedih lihat bapaknya aku tampari."

Huft! Sedikit lega setelah menamparnya, hal yang sudah lama aku inginkan. "Sekarang jelasin apa hubungannya Mas sama Mbak Amel. Gimana bisa kalian berdua ada di klinik itu. Awas aja kalo ceritanya nggak jujur aku pergi beneran. Bodoh amat sama Mas!" ancamku yang mendapati gelengan darinya. Pria itu tampak ketakutan.

"Jangan. Please jangan tinggalin aku, Cha," mohonnya dan kujawab dengan alis terangkat. "Waktu itu lagi jenguk bapak salah satu karyawan toko yang kena DB. Pas keluar ketemu Amel sama Andrian. Amel mau ngambil hasil tes dia, Andrian sedang terima telepon."

Aku tak mudah percaya. "Tapi kok Mas malah ikutin Mbak Amel ke poli kandungan itu?" cecarku.

"Nggak ada maksud ngikuti dia, ya refleks aja jalan ke arah situ sambil balesin chat dari customer. Terus kamu telepon nggak lama Andrian datang."

"Kok, Mas, senyum sama Mbak Amel? Sama aku nggak pernah senyum. Ibu juga kalo ada apa-apa kenapa nggak pernah minta bantuan aku? Hani juga nggak suka sama aku malah seneng sama Mbak Amel. Apa dulu kalian ada hubungan sebelum kita nikah sampek Hani nggak suka aku? Apa ...." Mulutku dibekapnya padahal banyak pertanyaan yang ingin aku utarakan.

Mas Hakim melepas bekapannya setelah aku diam. "Satu-satu. Aku bakal jelasin tapi nggak sekarang. Aku lapar, kita bikin mie goreng aja gimana? Kamu mau?"

Jelas saja aku mau. Sudah lama tidak merasakan kelezatan mie dengan nama negara ini. Aku pun mengganguk tanpa berpikir dua kali. Kurasa pembicaraan kami saat ini cukup, masih banyak waktu untuk bertanya, meskipun banyak pertanyaan yang masih belum terjawab.

TBC.

Uhuyyy! Yang baikan. Pasti happy 😒😒 males ah jadinya. Bye!



(Bukan) Pernikahan TerpaksaWhere stories live. Discover now