19

14.3K 1K 122
                                    

Ocha mulai berulah pemirsa🤣🤣 itung-itung balas dendam sama Hakim Bao sih.

Dahlah daripada ribet ngurusi Ocha, langsung baca deh. Eh jangan lupa komen dan vote ya.

****

Aku turun dengan cepat saat mobil Mas Hakim berhenti di depan rumah Bunda. Rindu ini sudah tak terbendung sampai-sampai rasanya mau meledak, bahkan teriakan Mas Hakim agar berhati-hati tak kupedulikan. Dengan tak sabaran aku membuka pintu depan dan berteriak memanggil Bunda.

"Bunda! Bun ... Bundaaa." Langkahku terus ke belakang ke tempat biasa Bunda dan Ayah duduk berdua. Benar saja, dua orang tidak muda lagi itu sedang bercengkrama di kursi taman. "Bunda! Kangen." Aku memeluk Bunda kuat-kuat menyalurkan rindu yang kurasakan. Setelah mengurai pelukan pada Bunda, aku berbalik gantian mendekap Ayah. "Kangen Ayah juga," ucapku manja.

Pelukan Ayah memang favoritku, nyaman rasanya dan membuatku tenang. Saking tenangnya sampai lupa ada Mas Hakim berdiri tak jauh dari kami berkumpul. Dia hanya kulirik lalu kembali memeluk Ayah kuat-kuat.

"Lho, kok, Ayah yang dipeluk terus. Nanti ada yang cemburu sama Ayah ini," seloroh Ayah tapi tangannya tak terurai.

"Biar aja," jawabku asal. Iya biar saja dia marah atau apa pun sebab aku sendiri masih kesal padanya. Jangan dikira dia minta maaf dan menuruti mauku langsung dapat maaf dan kami berbaikan. Oh kau salah, Ferguso, Rosalinda ini tak semudah itu memaafkan. "Bun, aku nginap. Pengin dibuatin martabak isi bihun pedes," ujarku saat duduk di tengah-tengah Ayah dan Bunda seraya bergelayut di lengan Ayah.

"Hakim juga?" tanya Bunda. Aku mengedik. "Lho kok nggak tahu," lanjutnya.

"Hakim juga, Bun. Dia kan ndak bisa makan kalo bukan Hakim yang masak." Mas Hakim dengan tatapan sendu ke arahku tapi aku melongos.

Budu amat, Juki. Budu amat. Mo melas mo kayang, koprol sekalian, nggak urusan sama aku. I don't care!

Salah sendiri cari masalah, dia tidak belajar dari kesalahannya kemarin.
Tak ingin repot-repot meladeni pria galau itu, aku bergelayut di lengan kanan Bunda, menatapnya dengan mimik melas dan mata berkaca-kaca. "Bikinin ya, Bun. Aku pengin banget soalnya."

"Bisa maemnya?"

Ah iya, itu pertanyaan yang sering terlontar kalau makanan bukan buatan Mas Hakim. Seperti kejadian bilur waktu itu, baru makan satu tusuk sudah mual tapi aku tahan, walaupun rasanya tak enak sama sekali. Rupanya bayi ini maunya berdekatan dengan pria itu terus. "Nggak tahu tapi pengin."

"Nanti Hakim bantu, Bun," sahut Hakim.

Bunda pun mengangguk karena tak tega. "Ya, habis ini beli bahan-bahannya di toko depan."

"Horayyy. Makasih, Bun." Aku memeluknya lagi. "Oh ya, Bun, Mbak Amel ke mana? Kok nggak kelihatan." Iya sedari tadi aku tak melihat keberadaannya, padahal mau dipeluk dia juga.

"Mbak Amel ke rumah calon mertuanya. Ada acara di sana." Kali ini Ayah yang menyahut. "Kenapa?"

"Nggak apa-apa. Ya kok nggak kelihatan gitu," jawabku. "Bun, ayok bikin sekarang. Keburu pengin." Bunda berdiri lalu ke dalam dan aku mengikutinya.

*****

"Masih marah sama Mas?"

Kasur di belakangku melesak karena bobot tubuh Mas Hakim. Tangannya menyusup di bawah leher kemudian menarikku hingga punggungku menempel padanya. Ia mendekap erat. Terasa ciuman-ciuman kecil di rambut.

Aku masih tak bersuara. Entahlah, melihat dia seperti itu aku ingin sekali memberi efek jera padanya. Ini bukan soal balas dendam hanya saja aku paling tak suka diabaikan tanpa tahu apa salahku. Di sisi lain, ini seperti bukan diriku saja. Aku tak pernah marah dalam waktu lama, tapi kali ini ... entahlah.

"Mas udah minta maaf, lho. Kok masih marah aja." Tangannya bergerak mengusap perutku yang sudah besar. Seolah tahu itu ayahnya, bayiku merespon usapannya. "Wah sudah mulai gerak. Sering kayak gini? Kok baru ini Mas dapet tendangan dia."

Iyalah baru tahu, Bambang. Wong kita lagi ribut, mana mau aku deket ente.

"Cha. Mas udah minta maaf, lho. Kamu mau Mas gimana biar nggak marah lagi?"

Bagaimana? Aku sendiri tidak tahu. Mungkin nanti bakal reda sendiri marahku. Mau kujawab seperti itu tapi terlalu malas.

"Cha."

Aku mendesis sambil memejamkan mata. Telingaku rasanya panas mendengar panggilan Mas Hakim terus menerus. "Nggak tahu! Aku nggak tahu Mas harus gimana," bentakku ketika menghadap dia. "Sekarang Mas diem Aku pengin tidur. Nggak usah berisik." Aku kembali memunggungi dia. Biar saja dosa tapi aku benar-benar lagi malas sama dia.

Akhirnya telingaku bisa tenang tanpa gangguan suara dia. Tangan Mas Hakim terus mengelus perutku sampai aku benar-benar hilang kesadaran.

****

Dengan berat hati aku membuka mata yang aslinya masih ingin terpejam, tapi perut ini sungguh tak bisa diajak kompromi. Bayangkan saja pukul dua dini hari aku ingin sekali makan mie kuah rebus pedas dicampur sayuran yang banyak, dan jeruk nipis. Ya ampun pasti nikmat. Hanya membayangkan saja air liur sudah berkumpul dan hampir menetes bila tak kuusap.

Setelah yakin nyawaku terkumpul, aku bangunkan Mas Hakim. Demi neneknya Tapasya, aku tidak akan mau minta bantuannya kalau bayi ini. Tapi Anda tahu sendiri pemirsa bagaimana ulah anakku ini. Aku sampai heran sendiri sama bayi ini, kenapa keinginan itu tidak berkurang padahal sudah hampir tujuh bulan.

"Mas. Mas, bangun." Aku goncang-goncang badannya agar terbangun. "Bangun, ih. Aku mau mie rebus." Goncanganku kali ini lebih kencang dan berhasil, akhirnya dia melek juga.

Refleks dia mengucek matanya menghilang kantuk dan kotorannya. Mas Hakim duduk dengan nyawa yang belum genap. "Apa?" tanyanya serak khas orang bangun tidur. "Mau apa?" ulangnya sambil melihatku.

"Mau mie kuah rebus pedes pake sayur banyak sama jeruk nipis," ucapku riang menampakkan deretan gigi bersih.

Dia tidak langsung menjawab. Tangannya terjulur mengambil handphone di nakas. Matanya menyipit memperhatikan jarum jam. "Mas bikini tapi lomboknya (cabenya) satu aja ya? Ini masih pagi banget makan pedes. Semalam juga habis banyak martabak pedesnya."

Decakanku menjawab ucapan Mas Hakim. Bersungut-sungut aku berkata, "Ya mana pedes kalo cuma satu. Empat."

"Dua."

"Nggak mau. Empat pokoknya." Benar-benar mengajak perang dia, padahal aku sudah berniat baikan.

"Dua atau nggak usah makan sekalian."

Bola mataku membesar. Yang benar saja tidak usah makan. Aku pun berkacak pinggang menghadapnya. "Kok nggak usah? Emang mau anak, Mas, lapar sama ileran! Tinggal buatin aja rempong. Lagian yang sakit perut juga aku bukan Mas." Fix! Mas Hakim benar-benar minta disantet online ini. Menyebalkan sekali. "Bilang aja kalo nggak mau bikinin," tandasku ketus. Aku melengos seraya bersedekap. Dia benar-benar pintar memancing emosiku dan jangan salahkan aku kalau dia kulalap (kumakan —kiasan).

Dia mengusap wajahnya pelan. "Astaghfirullah." Gumaman lirih itu terdengar olehku tapi kuabaikan. Ia menarikku mendekat, merangkul erat dan mencium rambutku. "Sini Mas kasih tahu. Ini bukan masalah mau buatin atau nggak. Mas mau aja bikinin pake cabe banyak, tapi yang Mas ngga mau itu kamu mules-mules. Nggak tega lihatnya, kamu sakit sementara Mas nggak bisa buat apa-apa," terangnya masih merangkulku. "Lagian pake cabe dua dipotong kecil-kecil tambah cabe bubuk mie-nya terus diulek bentar itu udah pedes banget, lho. Jadi Mas bikini tapi pake cabe dua atau nggak usah sekalian?"

Ini yang paling tidak kusuka, harus manut sama omongan dia. Berkuasa dan mau tidak mau aku mengangguk daripada tidak bisa tidur karena kelaparan.

Dek ... Dek, coba aja nggak rewel makannya, pasti enak bisa makan apa aja nggak perlu nungguin Ayah. Kamu itu tim Bunda apa Ayah, sih? Belain Ayah terus.

Tbc.

(Bukan) Pernikahan TerpaksaWhere stories live. Discover now