Bagian 26

2.7K 143 5
                                    

Secangkir kopi latte, dan dua porsi dessert baru saja lolos ke dalam perut, dan aku masih belum melihat Mas Alvin turun dari lantai dua kafe milikku.

Setelah perdebatan panjang, dan penjelasan yang sulit untuk kuterima, sekarang dia dengan seenaknya membobol area pribadiku.

Tak lama, lelaki itu turun dengan membawa koper besar yang membuat mataku melebar horor karenanya. Tapi seringai yang terbit membuat kedua matanya menyipit senang.

"Apa yang kamu lakukan? Kamu bilang numpang ke toilet, tapi kamu ambil semua barang-barang aku. Tuan Alvin, kalau Anda mau merampok, Anda salah tempat!" sindirku tajam.

Dia tidak menjawab, hanya terkekeh ketika tanganku tak berhasil menyambar koper darinya. Aku tidak akan kembali semudah itu, dan memaafkan dengan gampang seperti jebakan yang dia lakukan.

"Kita pulang, di sini bukan tempat kamu."

Aku bergeming, tak sedikitpun memindahkan tatapan tajam darinya yang kini menolehkan kepala.

"Kenapa? Kamu nggak mau? Malam ini apa yang bisa kamu pakai kalau nekat tidur di sini?" ujarnya santai.

"Dasar sial!" Aku mendorongnya geram, melepaskan amarah yang kubelenggu selama ini.

Sinar humor di sepasang netra hitamnya masih tetap terjaga. Kali ini dia justru menarikku dengan sekali lalu, menempatkan di dada berototnya hingga deru napas panas itu menyebar sampai ke ubun-ubun.

"Kamu memang kelinci kecil yang nakal, jangan membantahku, Arin. Bahkan kalau kamu melawan sekalipun, nggak akan ada yang bisa menolong. Apalagi tubuh kecilmu," ungkapnya dengan tatapan menusuk.

"Apa yang kamu mau?"

"Kamu," balasnya dengan satu kecupan yang menempel di pelipisku.

Oh Lord! Jika dia melakukan lebih banyak dari ini maka bukan apa yang kuharapkan. Detak jantungku menaiki ritme yang semakin cepat, dan aku khawatir dia bisa mendengarnya.

"Kenapa kamu selalu datang, dan pergi seenaknya? Kamu pikir aku nggak punya perasaan?!"

"Aku udah minta maaf, kan? Aku nggak pernah berniat menyakiti kamu, dan semuanya hanyalah kesalahpahaman. Seharusnya aku percaya kamu sejak awal." Kedua tangannya menangkup pipiku, memaksa untuk tertengadah menatapnya.

"Dengar, aku udah nggak mencintaimu lagi. Aku juga udah lupain semua tentang kita." Kutepis keras tangannya, dan melepaskan diri.

Kuharap sebaris kalimat itu membuatnya berlalu. Atau aku akan semakin tersesat di kedalaman netra sehitam jelaga, yang seakan menyedot seluruh emosi dalam diriku begitu saja.

"Kita akan buktikan nanti."

Kata-katanya mengandung dua arti yang kutangkap adalah sesuatu berbahaya. Romaku berdiri ngeri menyadari pertanda buruk menghampiri.

Sebelum aku sempat menyuarakan protes, lelaki itu sudah membopong dengan paksa. Tanpa peduli perlawanan, dan raunganku yang terus mencakar punggungnya juga memukuli.

Mas Alvin dengan enteng melemparkanku ke dalam mobilnya. Memaksa tetap duduk di kursi penumpang dengan dia yang menghimpit tubuhku.

"Jauh-jauh dari aku!" Kudorong dia sampai menubruk badan mobil, dan kilat melintas di sepasang netranya.

Sunyi menghampiri, tak kutemui kata untuk merinci. Kami bungkam akan perasaan yang sekarang bercampur aduk tak keruan.

Aku benci berada di posisi ketika tidak mampu berbuat apa-apa. Bahkan hanya sekadar membangun percakapan yang lebih berarti.

"Mau ke mana kamu bawa aku?"

"Ke tempat yang seharusnya."

Jawaban macam apa itu?

"Kalau kamu nggak jawab, aku bakalan lompat."

"Yakin?" Senyuman geli terbit di bibirnya, dan aku lekas mengenyahkan pemikiran tentang rasa dari kecupan yang dia berikan.

"Kamu pikir aku takut?" tukasku percaya diri.

Tangan besarnya dengan gerakan konstan menarikku, sampai punggungku melekat di tubuh keras yang menguarkan wangi menggoda.

Sedangkan aku, harus mempermalukan diri sendiri ketika gaun sialan itu justru naik sampai ke pangkal paha, memperlihatkan celana dalam merah senada dengan renda menghiasi sekelilingnya.

Gaun bertali ramping itu juga mencetak jelas area pribadi yang secara tak langsung dinikmati dengan gratisan olehnya.
Rona merah di kedua pipi terbit tanpa diminta, dan aku bisa merasakan panas yang diakibatkan dari mata lelaki itu.

"Lihat, kamu bahkan dengan pandainya mengenakan setelan pakaian dalam. Ini takdir bukan? Malam ini seharusnya kamu hanya dikhususkan untukku."

Kalimat kurang ajar yang dia lesatkan justru membuat rona di kedua pipiku kian menebal. Makin jelas saja ketika dengan pelan, dia mengangkat daguku hingga netra kami saling bersirobok.

"Sekarang, kita akan mulai dari mana?" tanyanya dengan senyum yang lebih mendekati bengis.

Apa maksudnya?

Satu telapak tanganku mendarat dengan sempurna, hingga dengungnya seakan menembus paru-paru yang kekurangan udara.

Sinar keterkejutan jelas tergurat di wajahnya yang tampak memerah hasil karyaku. Senyuman kecil aku hadiahkan sembari mengangkat tubuh menyingkir darinya.

"Bagaimana rasanya?" Aku merapikan gaun serta rambut yang berantakan, menaikkan sebelah kaki dengan tangan menyandar di sisi jendela, memandang sebingkai wajah yang serupa dewa Yunani.

Mas Alvin mengusap pipinya pelan, memperbaiki kemejanya yang telah kusut Masai. Dia mengukir senyum yang manisnya kurasa mengalahkan gula Jawa.

"Jadi kamu lebih suka main kasar? Aku akan tunjukkan permainan yang sebenarnya padamu. Bagaimana dengan itu?"

"Ayo tunjukkan."

Thanks
Valencia
5 Januari 2021

Satu bab lagi selesai ya update di wattpad terima kasih sudah menunggu. 😊😊

Rahasia Suamiku √Where stories live. Discover now