Bagian 20

3.4K 184 8
                                    

Aroma kopi, selalu menjadi aroma yang kucandui. Hampir tak kuingat sejak kapan menyibukkan diri dengan bekerja, dan menyeduh kopi di dapur kafe.

Aku tidak punya apapun lagi. Hanya tersisa tempat ini menjadi saksi. Luka, dan cinta yang meremukkan hatiku, perlahan mulai terkikis.

Semenjak hari itu, aku tidak lagi mendengar kabar tentang Jovan, dan juga yang lainnya. Hanya saja aku berusaha memperbaiki keretakan hubungan dengan Ayah.

Tapi tidak dengan Kania. Aku tidak sanggup untuk sekadar bertatap muka dengannya. Itu seperti membuatku dilemparkan dalam kubangan yang berusaha kutimbun pelan-pelan.

Walaupun kami satu Ayah, tapi ia mencintai lelaki yang juga kucintai. Itulah masalahnya.

"Rin, lo emang mau nerima lamaran, Max?" tanya Irma tiba-tiba.

Aku yang termenung sembari mengetuk meja mengalihkan pandangan ke arahnya.

"Siapa bilang?"

"Ayah yang bilang ke gue." Irma menghela napas, kali ini aku menangkap kabut di sepasang netranya yang cerah.

"Gue nggak mau buru-buru mutusin segala sesuatunya di saat gue lagi butuh pelukan. Nggak mau nantinya gue nyakitin orang lain atas dasar keegoisan." Kututup novel karya Sandra Brown yang tadinya sama sekali tak kubaca.

Irma terlihat berbinar dengan jawabanku, lalu menatapku dengan pandangan yang aneh.

"Kenapa lo? Nggak lagi kesambet demit penunggu pohon, kan?" Aku memandangnya ngeri.

"Ish apaan sih? Gue sadar roti bakar!"

"Abisnya lo kayak lagi mau merkosa gue," cibirku.

"Dih, pede banget lo. Walaupun ya, lo itu idaman lelaki tapi gue masih normal, blender rusak!"

Aku tertawa. Berdebat dengan Irma adalah sisa kebahagiaan yang masih belum ternoda. Sahabatku, yang selalu ada di saat dunia sedang mengejekku dengan cibiran kejamnya.

"Lo naksir sama, Max?" tebakku.

"Kok lo tahu? Cenayang, ya?"

"Bukan. Gue dukun cinta sekarang. Pengen lihat orang-orang bahagia,  gue bakalan bahagia juga." Aku memasang senyuman lebar, yang justru ditatap horor oleh Irma.

"Alah, kalau udah janes mah gitu."

"Eh lo ngatain gue?"

"Faktanya gitu, kan?"

"Lo belum jawab pertanyaan gue? Beneran lo naksir, Max?"

Irma menunduk. Semburat merah muda yang menyebar di pipi putihnya tak perlu untaian kata untukku tahu jawabannya. Sahabatku ini jelas memendam hasrat kepada lelaki yang meminangku itu.

Aku menyedot udara sebanyak yang kubisa, mengisi ruang di dada yang diserap kehampaan. Aku tidaklah buta untuk mengenali binar matanya, jika aku menerima lelaki itu sama saja dengan menukar harapan Irma, dan memutuskan mimpi indahnya mendulang asmara dengan Max.

Lelaki dengan taburan pesona menakjubkan, dan aroma menggiurkan yang menyerap setiap mata untuk memandang. Tapi hatiku tidak pernah bergetar tiap mata kami bersitatap.

Hanya sebatas bagaimana selayaknya wanita, mengagumi seorang lelaki yang elok parasnya. Tidak ada debaran menghanyutkan jiwa, pun gelora untuk menikmati bercumbu dengannya.

"Kalau lo suka sama Max gue bakalan ngalah. Karena menyakitkan saat harus nerima orang yang nggak gue cintai."

"Nggak. Jangan lakuin itu buat gue, Rin! Ayah terlalu tinggi berharap sama Max, beda sama gue yang nggak akan diharapkan siapapun," ujarnya

Rahasia Suamiku √Where stories live. Discover now