Bagian 17

3K 151 5
                                    

Aku menguap beberapa kali sebelum bangkit dari peraduan yang nyaman ini. Mata masih terasa begitu berat, tapi aku memiliki janji meeting dengan klien. Sepertinya, aku benar-benar akan mengendalikan perusahaan sepenuhnya untuk beberapa waktu.

Ya, menjelang lelaki tak berperasaan yang harus kupanggil Ayah dinyatakan sembuh dari sakit yang dideritanya. Katakan jika aku kejam karena membenci Ayahku sendiri, tapi beliau pantas mendapatkannya.

Setelah semua penderitaan yang diberikan pada kami, kemudian dengan enteng beliau ingin aku memberinya maaf. Sayangnya, tidak semudah itu.

Seharusnya aku bisa tidur nyenyak, tapi gara-gara kedatangan lelaki itu, semua rencana manisku gagal olehnya. Untung saja aku bisa mengusirnya dengan mengancam akan menembak kepalanya.

Aku tidak ingin bersimpati seperti mendengar penjelasannya dulu. Karena aku sudah berjuang memasang penyekat agar dia tak lagi memerangkapku dalam cangkang rapat, dan membuatku terseret pusaran menggoda yang dia ciptakan.

Itulah yang sebenarnya sedang aku lakukan. Karena aku tak ingin harus terus terluka lagi. Walaupun aku sangat tahu, tidak mudah untuk menghapus semua rasa dalam dada.

Jadi, secepat mungkin aku bersiap menuju kantor pusat. Klien besar yang saat ini ingin bertemu denganku adalah keluarga besar Max. Aku tidak bisa untuk melepaskannya begitu saja.

"Rin ... mau ke mana lo udah rapi gini?" Irma datang dengan dua gelas kopi yang masih menguarkan aroma nikmat, sekaligus uap panas.

"Nggak biasanya pake baju kantoran," imbuhnya.

"Mau meeting sama klien. Ya, untung-untungan kalau gue bisa berhasil ambil hatinya supaya secepatnya lunasi utang perusahaan kami."

Irma yang seakan tak percaya menyeretku ke kursi, dan aku terpaksa harus meladeninya dulu.

"Gue bisa telat, Ir. Please!"

"Dengarin gue, lo tadi malam kenapa ngusir Alvin? Lo nggak menghargai usaha gue banget deh. Udah susah payah ngaturnya, dan lo dengan entengnya ngusir dia pake ngancam mau nembak kepalanya!"

Aku sedikit terkesiap dengan pengakuan Irma. Apalagi melihat ekspresi wajahnya yang dipenuhi kekesalan.

"Oh, jadi lo yang sengaja nyuruh dia datang ke sini, dalam keadaan gue lagi di kamar mandi? Sengaja mau nunjukin gue ke dia sebagai wanita jalang? Please deh, Ir ... gue udah berusaha supaya--"

"Sorry, gue pikir lo masih berharap kalau kalian bisa baikan lagi. Gue minta maaf, Arin ... sama sekali gue nggak berniat berpihak sama Alvin. Tapi dia yang minta hari itu."

Aku terdiam. Pengaruh ucapan Irma begitu mengguncang, sehingga aku terus memikirkannya berulang-ulang. Apa maksudnya?

"Lo percaya dia nggak bakal hina gue lagi? Gue capek, Ir. Kalau lo kira gue nggak cinta lagi sama dia, itu salah. Perasaan itu masih ada, tapi sayangnya cuma menambah luka."

"Lo yakin nggak mau kasih kesempatan? Lo juga yakin nggak mau dengarkan, Ayah?"

"Gue nggak mau peduli lagi," tuntasku.

"Gue cuma nggak mau lo menyesal." Irma masih coba menahanku, tapi aku sudah berjuang untuk egois kali ini.

"Gue memang sudah menyesal sejak awal, Ir. Tolong ... berhenti jadi malaikat buat gue."

Aku beranjak meninggalkan Irma yang mematung tanpa kata. Kubiarkan ia menyerap seluruh kalimat yang aku lemparkan. Membahas soal Mas Alvin, selalu berujung pada kesimpulan yang sama. Takut terluka. Khawatir dia akan menghina, dan meninggalkan jejak panas dalam dada.

Rahasia Suamiku √Onde histórias criam vida. Descubra agora