Bagian 25

2.4K 145 1
                                    

Sudah lebih lima belas menit aku menunggu klien di sebuah resort yang mana beliau menginginkan kami bertemu. Cukup tidak masuk akal. Ini meeting atau sebenarnya kencan romantis?

Sekali lagi aku menyedot jus jeruk yang isinya hampir tandas. Tapi dia belum muncul-muncul juga. Baiklah, rasanya aku hampir menyerah.

Pertengkaran dengan Max membuat pikiranku tidak karuan, fokuspun nyaris hilang menguap entah ke mana. Apalagi tempat ini seluruhnya merekam banyak momen antara aku, dan Mas Alvin.

Kenapa harus di sini?

'Sudahlah, Arin. Jangan mikirin dia lagi'

Secepatnya aku mengusir pemikiran tentang lelaki itu. Aku sudah berusaha untuk melupakan, dan membuang jauh apapun yang berkaitan dengannya. Jadi, semua tidak boleh sia-sia hanya karena tempat ini memiliki momen kami berdua.

Kulirik jam di pergelangan tangan, mengembuskan napas kesal karena orang ini sungguh tidak bisa menghargai waktu. Lalu kembali bersidekap, memandang seonggok daging asap yang meniupkan aroma gurih, dan juga menggugah.

"Ri, ini klien apa dedengkot resort ini sih? Kok udah setengah jam belum nongol juga. Saya itu masih ada urusan di kafe."

Riana menggeleng. Lalu sibuk memperbaiki blazer, dan mengibaskan tangan ke rok span miliknya, seperti membuang sesuatu.

Aku hampir menyerah, dan memutuskan untuk tidak bertemu dengan orang itu. Tapi beberapa menit kemudian sosok pria dengan dua orang di belakangnya melambai, dan menuju tempat di mana kami duduk.

"Mohon maaf atas keterlambatannya, Mbak--" Lelaki itu mengulurkan tangan, dan sepertinya tidak tahu namaku.

"Saya, Arin. Kalau Anda terlambat lebih lama dari ini, saya akan lebih memilih memutuskan hubungan kerjasama perusahaan kita. Lagipula, kalian masih perusahaan baru, tapi tidak bisa menghargai waktu."

Aku menatap lurus, dengan dagu terangkat tinggi, dan tidak akan membiarkan mereka meremehkanku.

"Ada masalah di perusahaan jadi saya harus memohon maaf atas keterlambatan saya." ia tersenyum selembut mentari sore yang kehilangan kegagahannya.

"Baik. Mari kita bicarakan soal kerjasama kita."

Kami duduk berseberangan, dan memulai percakapan sesuai dengan rencana sebelumnya.

Setelah kontrak kerja kami bereskan, kami pun berjabat tangan sebagai pertanda segalanya dimulai.

                             ***

Aku berdiri di depan cermin, menatap pantulan diri yang tampak lebih kurus dari sebelumnya. Tulang selangkaku semakin terlihat jelas, ketika gaun semerah darah itu membungkus sekujur tubuh dengan sempurna.

Berputar-putar sejenak, sembari memperbaiki riasan. Aku tidak ingin terlihat buruk dalam makan malam yang sepertinya cukup mewah.

"Udah selesai?" Irma tiba-tiba masuk ke kamarku, dan meneliti penampilanku dengan seksama.

"Wuidih! Cantik banget sih adik ipar," ujarnya geli.

"Apaan sih? Nggak lucu tahu!"

Sebal, aku menjauh seraya menyibukkan diri mencari tas tangan yang baru kubeli beberapa waktu lalu.

"Mas Ardian seleranya bagus juga ya milih gaun. Lo jadi makin seksi tahu pakai ini. Serius deh, Rin ... di makan malam nanti lo bakalan menarik perhatian."

Aku melemparkan pukulan di dahi Irma yang seketika mengaduh pelan. Lalu memegangi kepalanya seraya menyuarakan sumpah serapah yang terkutuk.

Jika bukan karena paksaan Mas Ardian aku tidak akan datang ke pesta makan malam. Lebih baik aku tidur, dan berharap segala masalahku lekas selesai.

Rahasia Suamiku √Where stories live. Discover now