Bagian 18

3K 149 2
                                    

Hal pertama yang terlihat di saat aku tersadar, dan belum membuka mata adalah suara percakapan orang-orang. Aroma menyengat dari obat-obatan sontak menyerbu masuk ke indera penciuman.

Tangisan yang memilukan hati juga terdengar menyayat di telinga, tapi anggota tubuhku terasa mati rasa. Nyaris tidak berfungsi, meski aku berjuang melebarkan kedua netra yang masih mengatup, tak ingin terbuka.

Jemariku terasa kebas, saat aku menggerakkannya untuk memastikan kehidupan masih belum lenyap dari raga. Sampai sebuah suara halus, dan menenangkan sepanjang masa meredam segala ketakutan yang mendiami dada.

"Arin! Kamu bangun, Nak?" Pelukan hangat, disertai tetesan air mata yang merembes membuatku berjuang membuka kedua mata.

Semua masih terasa mengabur, wajah-wajah yang ada di hadapanku seperti berada di ruangan kaca berembun. Aku mengerjap, menyesuaikan pandangan dengan terang cahaya yang menyilaukan.

Perlahan-lahan semuanya terasa semakin jelas, dan aku melihat semua orang memasang ekspresi yang tak bisa kujabarkan.

"Akhirnya kamu sadar, Nak. Bunda khawatir terjadi apa-apa sama kamu." Bunda kembali memelukku, menumpahkan tangisan haru yang hanya kubalas dengan senyuman kaku.

Tenggorokan terasa kering, seperti ada sekat yang membatasi dinding-dindingnya.

Ayah yang berdiri di samping nakas lekas memberikan segelas air untukku. Langsung kusambut, dan menenggak isinya tanpa sisa.

"Kami semua menunggumu, Nak. Mama pikir kamu juga nggak akan bisa bertahan." Mama mertuaku menangis haru, dan semua orang kini memelukku.

"Gue kangen sama lo, Arin. Sumpah gue nggak bisa kehilangan lo." Irma mengeratkan pelukan sampai ingusnya meleleh di pakaian rumah sakit yang kukenakan.

"Gue nggak apa-apa kok. Mama, Papa, di mana Mas Alvin? Apa dia baik-baik saja?"

Wajah semua orang berubah muram, dan dadaku terasa berdenyut tidak nyaman. Terlebih saat aku menangkap kilat kesedihan di wajah Mama, dan Bunda.

"Sebaiknya kita keluar," tukas Ayah yang kini meninggalkanku bersama Bunda, dan Mama.

Setelah semua orang keluar, Mama menggenggam tanganku, sedangkan embun di sepasang netranya semakin jelas terlihat.

"Ma, ada apa?" Mama masih diam.

"Bun, ini kenapa?" Bunda juga hanya menoleh, terlihat tak ingin merangkai kalimat untuk menjelaskannya.

"Maafkan Mama, Arinda. Maaf karena nggak bisa mempertahankan kamu di sisi Alvin. Ini sudah jalannya, Nak." Titik air mata menderas di tebing pipi wanita setengah baya yang selalu kupuja ini.

"A-apa maksud, Mama?"

"Ini. Ini yang Alvin titipkan untuk kamu, Nak. Maafkan Mama jika selama ini anak Mama nggak bisa ngasih kamu kebahagiaan." Sebuah surat di dalam amplop cokelat kuterima dengan tangan gemetar.

Aku menariknya perlahan, dan mulai membaca isinya. Sesuatu dalam diriku seakan direnggut paksa, saat kata-kata formal yang tertulis menyayatkan lara. Perih semakin mengiris saat keputusan lelaki itu adalah menceraikanku.

Napasku tersengal, pelupuk mata mulai basah oleh air mata yang menggenang. Aku meremas surat perceraian itu hingga remuk, sama seperti hatiku yang patah berkeping-keping.

Teganya lelaki itu meninggalkanku. Setelah melemparkan berjuta lara, dan juga meninggalkan bias cinta yang masih membekas hingga sekarang. Hatiku telah lantak, diterjang tsunami yang memporak-porandakan.

Terasa sesak mendiami dada, hingga aku kehilangan suara untuk bicara. Mataku masih nyalang menatap daun pintu, berharap bayangnya hadir menjadi penenang, tapi nyatanya semua telah lebur bersama kenangan menyakitkan.

Rahasia Suamiku √Where stories live. Discover now