Bagian 23

2.3K 135 7
                                    

Aku tidak tahu apa yang saat ini merasukiku. Sehingga aku menemui bajingan yang dulu begitu pandai memasang wajah tak berdosa.

Lelaki itu terlihat kurus, dan memucat, setelah beberapa lama mendekam di dinginnya jeruji besi. Caraku menatapnya masih sama, tajam penuh golak amarah.

Ia memberiku seulas senyum, mengajakku terpana akan kilau yang tertoreh di sana. Senyum yang dulu ia tunjukkan sebelum segalanya berubah menjadi dendam, dan amarah tak berkesudahan.

"Terima kasih, karena kamu sudah datang, dan sudi untuk menjengukku."

"Ya, karena rasa kemanusiaan." Aku masih enggan berkomentar tentang keadaannya yang tampak memprihatinkan.

"Setidaknya aku tetap senang melihatmu ada di sini. Walaupun aku sudah menyakiti keluargamu, dan juga menghancurkan pernikahanmu. Aku sunguh-sungguh minta maaf, Arin." Jovan menatapku dengan rasa bersalah yang jelas tergambar di gurat wajahnya.

"Aku sudah memaafkanmu. Apa lagi yang mau kamu bicarakan?"

"Aku melihat di berita ... kamu, dan Max akan menikah, apa benar kamu sudah melupakan, Alvin?"

Aku mendesah mendengar pertanyaan yang Jovan ajukan. Mengapa sesulit itu melupakan segala tentang Mas Alvin. Setiap kali aku ingin melepaskan, selalu saja muncul tanya dari orang-orang.

"Aku udah nggak punya harapan menyambung hubungan kami lagi. Max yang selalu ada di sisiku, saat aku bahkan berada dalam titik terendah. Bagiku, hubunganku dengan Mas Alvin selesai setelah dia memutuskan pergi bersama Amira."

Cukup berat memang mengakui segalanya. Bukan hal mudah bagiku membuka ruang untuk Max, dan belajar mengisi lembaran baru bersamanya dalam perjalanan kisah cintaku.

Namun, manusia memiliki fase kehidupan yang berputar. Aku hanya tidak ingin terjebak dalam kenangan indah yang dulunya membuatku rela patah karenanya.

Sekarang, aku sudah mengizinkan hatiku untuk menerima lelaki lain membagi warnanya bagiku yang kesepian.

"Aku minta maaf, Arin. Aku saat itu hanya nggak sanggup melihat Alvin menikahimu, dan kalian melakukan malam pengantin dengan cinta. Sementara aku di sini terluka, karena kamu menolakku. Rasanya Tuhan nggak adil kalau kebahagiaan itu harus dimiliki Alvin lagi." Jovan tertunduk, dan entah mengapa ada yang tercubit di dasar hati.

Mungkinkah ini juga bagian dari kesalahan masa laluku yang menolak Jovan mentah-mentah. Seharusnya aku melakukannya lebih baik.

Tapi gelora cinta menggebu yang timbul ketika aku telah menemukan Mas Alvin, membuatku menyakiti lelaki yang mencintaiku itu.

"Udahlah, Jo. Lupakan semuanya, aku nggak pengen bahas itu lagi. Sekarang bisakah kamu bilang, apa anak-anak buahmu masih berkeliaran di luar sana?" todongku cepat.

Lelaki itu menaikkan kepala, memanah mataku, dan tatapan kami saling tarik menarik. Aku memandanginya tanpa sorot penuh kasihan, tapi lebih kepada mencari letak kemungkinan dia berbohong.

"Aku nggak tahu, Rin. Mungkin saja masih, karena Kenzo yang memegang kendali mereka semua. Tentunya selama aku di sini menebus dosa-dosa," ungkapnya pahit.

Aku mengangguk, dan kembali memecahkan sesuatu berupa teka-teki yang mungkin saja setelah nanti mengetahuinya, tidak akan aku sukai.

Kenzo.

Satu nama yang rasanya tidak asing di telinga, tapi aku juga belum yakin akan hal itu.

***

"Maaf membuat kalian berdua menunggu, tadi ada masalah di kantor pusat, jadi aku terpaksa menghubungi beberapa orang dewan komisaris." Max baru saja muncul dengan wajah yang terlihat lelah.

Rahasia Suamiku √Donde viven las historias. Descúbrelo ahora