Bagian 10

5.7K 389 32
                                    

Malam kian bisu ditelan sepi yang belum berujung. Sepoi angin mengalun lembut bak untaian rinduku yang tak terbalas.

Rembulan mengintip malu-malu dari celah dedaunan yang menutupi balkon kafe milikku. Akankah rembulan itu tahu resah jiwaku? Ah, dia tak pandai mengungkapkan sekelumit rasa meski menatapku dengan sinarnya yang lembut itu.

Aku mengusap kedua lengan yang sengaja kusilangkan di depan dada. Duduk bersendiri dengan pikiran mengembara entah ke mana. Sengaja membiarkan surai panjangku dikibarkan angin yang menerjang.

Satu per satu pundi-pundi kristal bening itu menitik tanpa bisa lagi kucegah. Berat rasanya saat tahu kenyataan demi kenyataan menyerangku secepat kilat. Walaupun aku selalu percaya pelangi akan selalu muncul setelah hujan. Tapi kapan?

"Rin, gue tahu gimana perasaan lo saat ini. Semuanya benar-benar rumit. Gue nggak nyangka Ayah tega lakuin semua sama Bunda." Irma memelukku, memberikan kenyamanannya sebagai seorang sahabat.

Aku masih diam memandang langit yang riuh diisi Bintang, akan tetapi rasaku tak secerah langit malam ini. Kebekuan yang menyusup di dalam hati, pelan-pelan seolah menjadi es yang siap mengeras kapan saja.

"Maafin gue nggak bisa apa-apa di saat Alvin nyakitin lo. Dia ada di sini sejak semalam, bikin keributan di dapur kafe, dan sampai semua karyawan nggak nyaman. Maaf, Rin, gue sahabat yang nggak guna." Kurasakan titik air matanya membasahi pundak, membuatku menoleh guna menatapnya.

"Gue nggak akan nyalahin lo. Gue tahu seberapa besar usaha lo ngusir Alvin dari sini." Aku memeluknya, dan kali ini kami sama-sama larut dalam tangis.

Aku tahu Irma sahabat paling baik yang kumiliki. Sejak dia memutuskan untuk mengakhiri hidup, dan aku menyelamatkannya, ia benar-benar menjadi seperti sisi diriku yang lain.

Jangan kira aku selalu percaya pada orang-orang di sekelilingku begitu mudah. Aku sudah memasang CCTV di kafe ini, tanpa siapapun tahu kecuali aku sendiri.

Katakan jika aku khawatir Irma merebut Mas Alvin dariku. Karena dulu ia sempat begitu memuja lelaki itu. Tentunya sebelum kabar pernikahan kami berembus.

"Gue kira lo bakalan mikir gue masih naksir sama Alvin terus membelot dari lo," ujarnya dengan ekspresi menggemaskan.

"Nggaklah, kaleng bekas! Gue percaya lo bukan teman makan teman."

"Gue jadi baper tahu! Makasih, Arin. Gue sayang banget sama lo." Seberkas senyumnya mengembang, membuatku ikut menarik sudut bibir.

"Sama-sama, Ir."

"By the way, yang ngantar lo tadi siang siapa?" Rona di wajah Irma terbit saat aku menatap penuh selidik.

"Bukan siapa-siapa, dia orang baik yang udah nolong gue dari Jovan, dan bawa gue pulang dengan selamat." Aku beralih merebahkan tubuh di kursi malas, sembari menyelipkan anak rambut yang berserakan.

"Oh, tapi sayang dia nggak mampir tadi." Kekecewaan jelas tergurat di wajahnya.

"Lo naksir dia, blender rusak?"

"Eh, dasar celengan kerdil! Gue normal artinya kalau naksir laki-laki seganteng itu!" Dia ikut mengempaskan tubuh di sampingku, di ranjang khusus santai di sore hari.

Aku hanya tertawa mendengar suaranya. Suka setiap kali dia marah, dan jengkel seperti sekarang. Ya, aku tahu Irma korban ketidakadilan dalam sebuah hubungan. Disebabkan keluarganya yang begitu ketat dengan aturan, sehingga membuat dia nyaris bunuh diri. Seandainya, Tuhan tidak mengirimku untuk naik ke atap gedung waktu itu.

"Arinda Larasati, lo bisa berenti ketawa nggak?" Kali ini bibirnya sudah monyong lima senti.

"Gue senang kalau menistakan lo, Ir." Tawaku makin pecah begitu melihatnya ingin kembali marah.

Rahasia Suamiku √Where stories live. Discover now