Bagian 16

2.8K 146 0
                                    

Suara amukan klakson mobil terdengar nyaring memekakkan, tapi aku sama sekali tidak peduli, dan terus saja menggila di tengah padatnya aktivitas jalanan.

Tanganku mengepal di atas kemudi, dan deru napasku seakan bergetar mengelilingi. Kemarahan yang menggelegak terasa membutakan seluruh saraf.

Max benar-benar membuatku merasa tolol di depan ibunya. Bahkan, lidahku mendadak kelu seakan dikemudikan ke arah lain, ketika berjuta kata berisi sandiwara berlesatan dari mulutnya. Bodohnya, wanita paruh baya itu justru begitu mudah percaya.

Oh tentu saja, bukankah Max adalah putranya. Lalu bagaimana selanjutnya dengan nasibku yang sudah tersegel, dalam garis takdir ciptaan lelaki itu.

"Sial! Sialan kau, Max!" Aku merasakan tekanan untuk meraung, dan melemparkan segenap kata-kata demi memuntahkan amarah yang melingkari tubuhku.

Jika bukan karena aku peduli pada rencanaku, mungkin saja aku sudah melesat meninggalkan rumah Max sejak dia mengakui bahwa kami punya hubungan. Apa-apaan itu tadi?

Aku membanting pintu mobil keras-keras, tanpa peduli jika aku baru lima bulan membelinya. Abaikan dulu masalah mobil, karena ada hal yang lebih genting dari itu semua.

Jantungku nyaris terjatuh ke ujung kaki, begitu sebuah lengan kokoh melingkar di pergelangan tanganku. Embusan napas panasnya terasa seperti api yang menjilat-jilat.

"Seharian aku nyari kamu, dan ternyata kamu pergi ke kantor Tyler group. Apa yang kamu lakukan di sana? Mencari cara untuk menggoda pemiliknya?" sentaknya kasar.

Aku meremas ujung dress yang kukenakan, dan memberi tatapan penuh antisipasi kepada lelaki itu.

"Kalau itu benar, kenapa?"

"Sial! Beraninya kamu jawab!"

"Aku mungkin wanita, tapi ada kalanya aku bisa membalas hal yang sama kalau kamu bisa berbuat seenaknya. Well, aku rasa itu adil."

Aku senang ketika keberanian terasa mengalir deras, dan aku bisa menangkap denyut di pelipis lelaki itu. Kedua tangan Mas Alvin mengepal, dan amarah melintas di sepasang netra hitam pekat miliknya.

"Aku akan melakukan hal yang lebih menyakitkan lagi, Arin." Suara rendah itu bergema di sekelilingku, dan menancap kuat dalam otakku.

"Kamu pikir aku peduli? Dengar Mas, aku mungkin terdengar seperti dijual oleh keluargaku demi sebuah hal yang kamu bilang hutang, tapi kamu tenang aja, sebentar lagi aku akan membayar lunas."

Lunas? Mungkin saja jika aku berhasil memenangkan tender proyek yang sebentar lagi akan dijalankan. Aku menggigit bibir merasakan isakan yang nyaris meluncur.

Aku membencinya, tapi bahkan itu semua belum mampu memudarkan, dan menghapus rasa cinta padanya. Kadang, aku menyadari ketololan yang tidak semestinya aku miliki.

"Kamu akan menyesal, Arin. Mulut tajammu bisa merugikan dirimu sendiri nantinya!"

"Aku nggak peduli!" Aku menanggalkan cengkeramannya di bahuku, dan memanahkan tatapan tajam.

"Sialan! Kamu nggak akan berani bicara sembarangan lagi, atau aku pastikan keluargamu bangkrut!" Lelaki itu mencengkeram bahuku, kali ini lebih keras, dan rasanya tulang-tulang serasa ingin patah.

"Silakan kalau kamu berani," tantangku.

"Kamu pikir aku takut? Orang tuaku nggak akan bisa menolongmu, karena sejak Alvian koma akulah yang mengendalikan perusahaan, dan kerja sama apapun itu. Aku ingatkan, kalau kamu lupa." Senyum miring dengan ekspresi penuh kemenangan tercetak jelas di wajahnya, dan aku ingin sekali meninju wajah tampannya itu.

Rahasia Suamiku √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang