Bagian 24

2.3K 140 6
                                    

Apartemen yang mengusung konsep eropa itu terlihat remang, lorong-lorong panjang menuju unit lelaki itu tampak senyap. Aneh. Tidak seperti biasanya.

Aku merangsek masuk setelah menekan kunci, dan disuguhkan oleh pemandangan yang membuat jantungku seakan terlempar dari tempatnya.

Setelah pesan yang dikirimnya, ternyata ini yang akan ia tunjukkan padaku. Sebuah rasa sakit, dan kecewa yang tak tahu bagaimana caraku untuk menggambarkannya. Demi Tuhan! Max tengah berciuman dengan wanita yang tak pernah kuketahui sebelumnya.

Saat aku mencoba memunguti kepingan-kepingan yang terserak karena pedihnya ditinggalkan, dan dibuang begitu saja. Sekarang, ia juga memberiku rasa sakit yang sebelumnya pernah terlupakan.

Kukira, aku mengenalnya dengan baik, mencoba terus percaya walaupun beberapa hal seringkali membuat rasa curiga muncul tiba-tiba. Sekarang, aku berhenti untuk belajar mencintainya. Max sama bajingannya dengan pria di luar sana.

Aku menghapus air mata yang tergenang tanpa terasa. Masih berdiri kaku di depan pintu, tanpa sanggup melangkah maju. Mulut terasa mengering, dan kerongkonganku mendadak seperti tersekat oleh sesuatu tak kasat mata. Masih terus merekam ciuman panas yang mereka nikmati dalam remang.

Rantang berisi makanan yang kubuat dengan penuh semangat perjuangan, rasanya tak sepadan. Mengingat sekarang harapan itu musnah, tanpa meninggalkan kepingan masa depan.

Mundur, kutarik pintu perlahan, menutup dalam diam. Biarlah kubawa kembali luka yang baru saja ia semai. Terasa semakin sulit untukku membuka lembar baru kehidupan, karena yang datang seringkali tak pernah sesuai dengan kenyataan.

Mobil kupacu perlahan untuk membawa pulang, mencoba meredam sakit yang sekarang tak mampu kutahan. Aku berhenti, menangis keras-keras sembari memukulkan kepala pada setir.

Aku membenci fakta jika aku dijual Ayah untuk menikahi lelaki yang bahkan belum tentu setia sampai mati. Max bahkan baru saja melempar kotoran ke mukaku. Sungguh menjijikkan!

Suasana saat ini lengang, hanya para pedagang yang sibuk menjajakan makanan. Sementara aku meratap di dalam mobil, menyesali pertemuan serta bantuan yang Max berikan.

Satu hal, aku juga membenci bagaimana aku pernah berekspektasi terlalu tinggi. Aku yang berharap Max bisa menyembuhkan lara. Tapi yang sekarang kudapat justru sebaliknya.

Kuedarkan pandangan ke ruas jalan, mengusap air mata dengan tisu, sedikit merapikan penampilan, menarik sudut bibir membujuk diri sendiri supaya tenang.

Langkah penuh semangat kuayun menuju gerobak dengan kepulan uap dari panci yang dipanaskan. Semangkok bakso mungkin bisa membuat aku melupakan lelaki sialan itu. Atau bisa membuat halusinasi tentangnya raib begitu bakso tandas dari mangkok.

Ini masih tempat yang sama, ketika aku kencan pertama kalinya dengan Mas Alvin kala itu. Tentu saja ketika lelaki itu dengan sembarangan mengajakku kemari.

Mungkin dia tidak tahu bahwa aku bukan wanita kelas atas yang harus makan di restoran mewah, dan higienis.

Air mataku kini justru kian berjatuhan, ketika yang bertandang justru kenangan masa silam. Seharusnya aku sudah melupakan, dan menenggelamkan semua tentangnya semudah ketika dia memutuskan mengakhiri pernikahan kami.

Tapi apa? Aku masih saja mengingatnya meski sudah satu tahun sejak kejadian itu berlalu. Kasus-kasus bahkan sudah berakhir di persidangan, bergulir mudah tanpa hambatan.

Seringkali aku berharap kejadian ini tak pernah terjadi. Semua orang sudah bahagia,  mengapa hanya aku sendiri yang masih terluka?

Mungkin karena aku masih terus mengingatnya, atau karena lukaku tak mampu terhapus oleh masa?

Rahasia Suamiku √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang