Bagian 12

4.4K 268 8
                                    


Aroma minyak kayu putih terasa menusuk semakin kuat ke penciuman. Tapi mataku masih terkunci rapat, seakan tak sanggup untuk dibuka. Sementara rasa pening menghantam bertubi-tubi.

Lambat laun, aku memaksa mata agar terbuka, dan cahaya yang menyeruak masuk ke penglihatan mulai terlihat jelas. Setelah beberapa detik, aku tersadar dan dikejutkan dengan sosok semampai yang berdiri di samping ranjang.

"Akhirnya kamu sadar juga," ujarnya seraya menyunggingkan senyum.

Aku memicing, mencoba mengingat di mana pernah bertemu wanita berambut sewarna madu itu. Lalu, ingatanku tertancap pada beberapa minggu lalu saat aku memutuskan pergi ke Surabaya.

Ia wanita yang sama dengan teman suamiku waktu itu. Wanita yang begitu akrab, sampai-sampai membuatku merasa cemburu karenanya.

"Siapa kamu?"

"Kamu lupa sama aku? Hei, aku ini teman suamimu, ah lebih tepatnya sahabat Alvin. Namaku, Amira." Wanita itu menyunggingkan senyum, seraya menekan hidungnya.

"Ya, tapi kenapa kamu ada di sini? Di mana suamiku?"

Aku menatap netra hitam cerah wanita itu, dan ia tertawa sehangat kopi yang baru disuguhkan. Sebelah tangannya ia rentangkan di sepanjang sofa. Sementara bibirnya masih melukiskan senyuman.

"Tenanglah ... Alvin lagi keluar sebentar. Dan ... dia nggak akan tahu kalau aku ada di sini." Wanita itu berdiri dari duduknya, berputar pelan seraya mengangkat gelas kopinya lebih tinggi.

Kengerian terasa mencekikku seperti jari-jari yang tak kelihatan. Kehadiran wanita itu menimbulkan aura negatif yang kental.
Aku lekas beranjak dari pembaringan, menyibak selimut yang menutup tubuh, dan tertatih menjejakkan kaki ke lantai.

"Kamu mau ke mana?"

"Aku mau pulang."

"Pulang?"

"Ya. Dan kamu jangan coba-coba untuk menahan aku." Kutanggalkan cengkeraman tangannya, dan memaksakan diri menjauhinya.

"Well, apa kamu melupakan sesuatu?" tanyanya lagi.

Aku menaikkan sebelah alis, tak ingin mengeluarkan suara untuk menjawab pertanyaannya.

"Sejak kapan kamu dianggap di rumah, Alvin? Apa kamu juga lupa, kalau dia sangat membenci kamu."

Aku tertegun dengan kata-kata yang disemprotkan wanita itu. Sekuat tenaga, aku berjuang merangkai kalimat demi membalas ucapannya.

"Nggak usah marah, Arin. Kedatanganku ke sini untuk membantu kamu membongkar rahasia suamimu." Sepasang netra wanita itu berkilat, sementara jemari lentiknya merayap di sepanjang bahuku. "Aku menyelidiki kehidupanmu. Karena aku yakin, orang selicik Jovan sengaja mencuci otak Alvin Adijaya si bodoh sialan itu!"

Tertegun, aku menyadari ada kilat dendam di netra hitam wanita itu. Dari caranya berbicara, sarat akan kemarahan yang tak berujung. Desisan kebencian itu berlarut-larut di udara.

"Jovan? Kamu tahu soal dia?"

"Tentu saja. Karena dialah penyebab keretakan rumah tangga kalian," cetusnya.

"A-apa?"

"Kamu pasti nggak percaya kalau misalnya aku punya banyak bukti apa saja mengenai siapa Jovan, dan apa hubungannya denganku juga Alvin." Senyuman wanita itu menyentakku dari alam sadar, dan lekas menarik mundur tubuhku dari sisinya.

"Apa semuanya ini saling berkaitan? Tentang kenapa suamiku begitu kukuh ingin menghancurkanku, dan menuduh bahwa aku ini seorang pelacur murahan?"

Wanita cantik itu menghela napas, rambut bergelombangnya dikibas ke belakang seraya menarik sesuatu dari dalam tas.

Rahasia Suamiku √Where stories live. Discover now