Bagian 5

6.6K 341 27
                                    

Aroma keringat dan parfum bercampur baur menusuk penciuman. Aku mengerutkan hidung, sembari menarik koper bersama lalu lalang orang-orang. Suara percakapan, dan koper yang diseret, seperti alunan musik paling serasi untuk menggambarkan suasana di bandara Juanda pagi ini.

Aku menengadah, memandang cahaya mentari yang mulai naik ke atas. Panas, tapi belum terlalu membakar kulit. Melambaikan tangan, sebuah taxi lantas berhenti di depanku.

"Mau ke mana, Mbak?"

"Perumahan Darmo Hill, Pak."

Lelaki paruh baya itu mengangguk, lalu melanjutkan perjalanan ke mana aku hendak menuju.

"Jln Mayjen Sukamto ditutup, Mbak. Jadi ndak lewat tol ya."

Aku mengangguk, tak berniat membalas perkataan lelaki paruh baya itu. Memejamkan mata, dengan hati yang diserap gulana. Lelah masih menghantam diriku bertubi-tubi, dan bertemu Bunda adalah obat terbaik untuk melerai segala resah di hati.

Kuhirup udara lebih banyak. Tak terasa, sudah cukup lama aku tak mengunjungi kota kelahiran. Tempat yang menyimpan berjuta memori kenangan, saat kami masih susah dulu.

Aromanya masih sama, begitupun dengan suasananya. Tidak terlalu banyak yang berubah, kecuali semakin padat, dan ramai. Aku datang tanpa memberitahu Bunda, hanya sekadar untuk kejutan. Ah, rasanya semua lukaku kebas, begitu aroma ketenangan menyeruak dalam dada.

Tanpa terasa, tempat tujuanku telah tiba. Rumah bercat putih dua lantai, dengan pagar besi kokoh itu menjulang angkuh. Bunga-bunga segar mekar begitu cantik, menebarkan aroma yang nikmat.

Harum masakan dari dalam rumah juga membelai hidung. Aku melangkah masuk, suasana begitu sunyi. Mungkin Ayah sedang di kantor, dan menyisakan Bunda bersama Mbok Ijah berdua.

"Arin! Astagfirullah, Nak. Ini benar-benar kamu?" Bunda yang baru saja membawa secangkir teh hangat, dengan asap mengepul itu seakan tak percaya.

Bunda meletakkan cangkirnya di meja, tergopoh-gopoh menghampiriku yang juga melangkah ke arahnya. Napasku tersengal begitu dekapan Bunda terasa kurindukan.

"Bunda kangen sekali, Nak. Tapi kok kamu sendirian? Di mana suami kamu?" Aku mengusap mata dengan punggung tangan, berjuang merangkai kata-kata yang pas untuk menjelaskan.

"Apa kalian ada masalah, Nak? Jangan bilang kamu kabur dari rumah?" selidik Bunda sembari memandang koper berisi pakaian milikku.

Mengembangkan senyum aku menarik Bunda duduk. "Nggak, Bun. Arin sama Mas Alvin baik-baik aja. Cuma kangen sama Bunda, karena dia sibuk terus."

Aku mengerucutkan bibir berpura-pura bahwa semua memang dalam keadaan baik.
Walaupun di waktu yang sama aku harus menahan gejolak di hati yang menjerit.

"Syukur alhamdulillah kalau begitu, Nak. Bunda kira kalian bertengkar." Seutas senyuman lega terukir di bibir Bunda, aku semakin didera gulana karenanya.

"Mas Ardian nggak ada ke sini, Bun?"

"Ardian baru saja berkunjung semalam sama anaknya. Kasihan sekali dia, harus mengurus Dila sendirian." Bunda menerawang.

Aku tertegun, beban di hati Bunda membuatku merasa tak pantas mengadukan kesusahan. Mas Ardian, kakakku seharusnya memang menemukan bahagianya. Bukan justru mengalami pahitnya perceraian.

Rahasia Suamiku √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang