Bagian 6

6.2K 330 19
                                    


Musim gugur akan segera berakhir, berganti musim dingin yang hendak menyambut. Beberapa bagian wilayah di Eropa, sudah mulai berganti dengan musim dingin yang memang biasa terjadi di bulan Oktober.

Aku melangkah ringan melewati gedung-gedung pencakar langit. Aku sengaja berjalan kaki, karena selain bisa menikmati udara pagi hari, juga supaya bisa menikmati pemandangan kota Milan.

Guguran daun maple berserakan di beberapa tempat, sebagian lain terbang diembus angin. Ada beberapa helai yang jatuh menimpa rambutku, lalu melayang ke tanah seiring langkahku berderap maju.

Kesibukan semakin terasa nyata, saat di sepanjang gedung yang kulewati banyak orang berlalu lalang. Ada seorang lelaki paruh baya mendorong stroller bayi, dengan tudung imutnya.

Aku memandanginya, bayi itu tertawa kecil memamerkan gusi yang belum ditumbuhi gigi. Kulitnya sehalus pualam, dengan mata bulat beriris biru terang secerah langit di musim panas. Lalu, dua sejoli menghampiri mereka. Menggendong si bayi, dan berderai tawa menggetarkan jiwa. Ah, mereka tampak bahagia.

Ada setitik asa di dalam hati. Seandainya, aku dan Mas Alvin menikah selayaknya pasangan yang saling mencintai seperti mereka. Mungkin, keadaannya pasti akan berbeda dengan sekarang. Tapi sayang, itu hanyalah semu terlarang.

Kuhela napas dalam-dalam, berharap impitan sesak di dada lekas terurai. Satu nama yang bertahta di dalam hati bagaikan mantra menyerap ke sendi-sendi. Aku benar-benar merindukan lelaki itu, walaupun aku tahu dia tidak akan pernah peduli.

Langkahku terhenti di sebuah gedung pencakar langit dengan lambang T berdiri menjulang. Lalu lalang para karyawan terlihat begitu sibuk, aku memilih untuk langsung melesat masuk.

Kemudian melangkah menuju meja resepsionis yang dikepung beberapa orang asing. Tampak seorang wanita dengan pakaian formal, heels tinggi, rambut disanggul, dan wajah khas Eropa.

Ia tersenyum ramah sembari menanyakan keperluanku. Setelah aku mengatakannya, ia memanggil seseorang untuk mengantarkan ke ruangan Mr. William.

Wanita bertubuh langsing itu lantas mempersilakanku untuk mengikutinya. Kami berjalan, dan memasuki kotak besi yang akan membawa di mana ruang kerja Mr. William berada.

Aku merasakan lembap di sekitar pelipis, berusaha menenangkan debar di tengah dada yang dilanda kegugupan. Sampai suara lift berdenting, pertanda kami tiba di lantai tujuan.

"Mari, Nona, itu ruangan Mr. William." Seluas senyum terbentuk di sudut bibir wanita yang mengantarku.

Aku pun membalasnya, dan mengucapkan terima kasih. Lalu aku kembali melanjutkan langkah menuju ruangan berpintu kaca di depanku.

Kuketuk pintu perlahan, dan sebuah suara berat singgah mengaliri pendengaranku. Melangkah masuk, dan pemandangan tubuh tegap dibalik kursi membuatku tersedak ludah.

"Silakan duduk," tukasnya datar.

Tubuhku menegang kuat, saat lelaki itu berbalik cepat. Mata hitamnya memanahku tepat sampai ke jantung. Seluruh tulang belulang serasa dilolosi satu per satu ketika senyum terbingkai lebar di bibirnya.

"Kamu! K-kenapa kamu bisa di sini?" Aku tahu suaraku gemetar karena tuntutan rasa takut menghentak kuat.

"Kenapa memangnya? Tenanglah, aku nggak akan berbuat jahat, sweety."

Aku menatapnya tajam. Kilat kebencian masih mengental dalam setiap aliran darahku. Lelaki yang kini berdiri di depanku, tak ubahnya serigala berbulu domba.

Sel-sel di tubuhku mengerut takut. Terlebih ketika suara beratnya bergema memukul dinding-dinding ruangan. Benakku terus menyerap semua yang dilakukan lelaki itu, dan aku mundur perlahan ketika ia semakin mendekat.

Rahasia Suamiku √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang