Bagian 7

6K 342 30
                                    

Bisik luka dari relung kian riuh menabuh genderang. Gumpalan lara masih tak kunjung reda. Satu per satu pundi-pundi kristal bening meleleh di tebing pipi.

Aku masih membeku, berdiri di undakan tangga rumah lelaki itu. Beberapa orang pelayan datang menyambut. Sapaan ramah berbahasa Italia, singgah di mana-mana. Akan tetapi Max lantas menyeretku menuju pintu berukiran rumit di lantai atas.

Di tangannya ada baskom berisi air, dan kain lap baru, sementara sebelah tangannya menggenggam tanganku.

Max membawaku masuk ke sebuah kamar dengan desain bergaya Eropa kental. Khas dengan ciri Milan yang memiliki bangunan megah seperti yang terlihat di televisi.

"Untuk sementara kau akan tinggal di sini, sampai keadaanmu membaik." Max mendudukanku di ranjang, tanpa sungkan membersihkan luka di sudut bibir dengan telaten.

"Max." Aku menahan lengan kekar lelaki itu, memohon agar ia tak memperlakukanku sedemikian rupa.

"Aku hanya menolongmu, Awin. Please, let me be." Lelaki itu kembali melanjutkan perbuatannya, membuatku hanya terdiam pasrah.

"Sepertinya lain kali kau harus belajar menyebut namaku dengan benar, Max."

"What?"

"Kau mengganti namaku sembarangan." Aku mencebik dengan memasang wajah tak suka.

Lelaki itu menatapku datar, lalu berjalan membawa baskom berisi air hangat, dan handuk yang ia gunakan untuk membersihkan lukaku. Meletakkannya di nakas, dan keluar kamar begitu saja.

Tak lama tubuh atletisnya menjulang di hadapanku dengan nampan berisi makanan. Ia meletakkannya di nakas seraya menarik kursi untuknya.

"Kenapa kau mau menolongku, Max? Kau tidak sedang berniat jahat, kan?"

Keraguan itu sempat menyelinap dalam benak, menjeritkan ancaman agar waspada kepada setiap orang. Aku sungguh tak pernah menduga, akan berada dalam situasi seperti ini.

"You don't trust me?" Max memandangku seraya melepaskan jas yang melekat di tubuhnya.

"A-aku hanya takut."

"Aku benar-benar tulus untuk membantumu. Bukan berniat jahat padamu."

"Lalu bagaimana kau juga ada di sana tadi? Sedangkan kau seharusnya memiliki jadwal penerbangan yang padat?" Aku memberikan tatapan menyelidik ke lelaki itu yang tampak berjuang merangkai kata.

"Ya, pekerjaanku tidak hanya itu saja. Tapi ada apa sampai kau terlihat seperti sangat kacau? Ah, ya, kurasa kau baru saja mengalami hal yang buruk." Max menyandarkan tubuh ke belakang, sementara sepasang iris abu-abunya terus memindaiku.

Aku menunduk, kembali menggigit bibir saat teringat perbuatan Jovan kepadaku tadi. Masih terekam jelas, bagaimana tatapannya yang liar, dan mematikan. Lalu, semua praduga dalam benakku seakan silih berganti melintas.

Tak baik rasanya jika menceritakan pada Max yang notabene baru aku temui. Terlebih, rasa takut itu masih menghujam dalam benakku.

"Maaf, Max. Aku tidak bisa mengatakannya padamu, ini terlalu pribadi." Aku menyeka sudut mata, merasakan embun yang mulai hendak meluncur.

"Baiklah aku tidak akan memaksa, lebih baik kau istirahat saja. Aku akan kembali lagi untuk mengabarimu jika bisa pulang hari ini." Lelaki itu berjalan hendak meninggalkanku.

"Max!"

"Ada apa?" Ia berbalik seraya memandangku yang masih kacau.

"Thanks a lot."

"Yeah," sahutnya seraya kembali melangkah keluar kamar.

Aku merebahkan tubuh di ranjang, memandang langit-langit mansion megah lelaki itu. Aku tidak pernah mengira Max sekaya ini. Walaupun hanya bekerja sebagai pilot, sepertinya lelaki itu terlampau sukses.

Rahasia Suamiku √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang