Bagian 3

8.8K 458 38
                                    


Mobil berhenti di depan rumah, dan tanpa kata aku memebanting pintunya keras-keras. Tak peduli mobil mewah terbarunya itu lecet, atau lepas dari tempatnya.

Napasku tersengal-sengal, kantung mata mulai pecah seiring derasnya cucuran air mata yang terjun melewati tebing pipi. Dada terasa semakin sesak mana kala pemandanganku kian memburam.

"Nyonya," tegur Nabila yang baru saja melihatku masuk dengan berurai air mata.

"Arin!" Teriakan Mas Alvin masih menyentak dadaku yang diserbu kekagetan.

Lelaki itu sudah mencekal tanganku, dan membalik tubuhku. Demi Tuhan, dia memikulku seperti karung beras tanpa perasaan.

"Turunkan! Gila kamu, Mas!" Aku memukuli punggung kerasnya yang seolah-olah tidak merasakan sakit sama sekali.

"Diam!" bentaknya.

"Nggak sebelum kamu turunkan aku!"

Lagi, aku memukulinya, dan dengan kerasnya tubuhku terbanting di atas ranjang kamar lelaki itu. Sepasang netra hitam pekat itu nyalang menatapku. Tampak seperti lautan api yang berkobar ganas hendak membakar dengan tatapannya.

"Kamu memang tidak tahu diri, Arin! Sepertinya kamu lebih suka aku main kasar denganmu!" tukasnya tajam.

Tangan lelaki itu bergerak menekan sikunya. Tubuhnya tepat menindihku, sengaja berlama-lama dengan tatapan yang sanggup meruntuhkan bangunan kokoh yang berusaha kudirikan. Sial! Bibirnya yang menyeringai sinis seolah memberikan undangan terbuka, untuk disesap layaknya nikotin yang menjadi candu.

"Kenapa kamu selalu membangkang dan selalu ingin membongkar amarah yang kutahan selama ini, Arin?" Suaranya yang berat berdenting mengaliri pendengaranku.

Napas yang keluar dari mulutku terdengar seperti rintihan, membuat lelaki itu mengangkat sebelah alis, dan jemarinya yang panjang menyusup di helaian surai panjangku.

Aku memejamkan mata saat embusan napasnya yang panas menerpa leherku. Memberikan sensasi meremang di sekujur tubuh. Belaian tangannya di sepanjang leher, terasa membuatku dilanda frustasi.

Aroma maskulinnya yang menguar semakin terserap oleh indera. Tatapannya yang lembut melenakan menyadarkanku, betapa lelaki ini menaburkan pengaruh berbahaya.

"Apa yang kamu rencanakan terhadap keluargaku, Mas?"

Tanganku terasa dingin, darah seolah terserap lenyap oleh auranya yang mengintimidasi. Ditambah dirinya yang mengeras, dan menggeliatkan keliaran mengamuk ganas.

Lelaki itu tertawa. Tawa bengis yang memanaskan dadaku, membuat sel-sel dalam tubuhku mengerut takut. Cengkeram di bahuku mengencang, hingga terasa membara oleh panas api yang ditularkan dari amarahnya.

"Kamu nggak perlu tahu, jalang sialan!"

Aku merasakan palu godam menimpa kepalaku. Denyutan yang sanggup mengumpulkan ribuan amarah yang berusaha kukekang selama ini.

"Kamu lelaki yang nggak punya moral, Mas. Jadi wajarkan kalau kamu menikahiku yang kamu beri gelar nista itu?" balasku sinis.

Aku tidak lagi takut padanya. Bahkan, jika dia mencekik atau melemparku keluar dari kamarnya, dan mati. Itu akan lebih baik untuk mengakhiri penderitaan yang kualami.

Sampai sebuah ketukan di pintu, membuyarkan amarah lelaki itu. Dia berdiri, dan meninggalkanku menuju pintu. Terlihat sosok lelaki dengan pakaian serba putih berbicara padanya.

Lelaki itu sempat melirikku, tapi Mas Alvin lantas menghalanginya. Sehingga lelaki itu kembali fokus pada lembaran-lembaran kertas di tangannya.

Aku hendak menerobos untuk keluar dari kamarnya, tetapi lelaki itu lebih cekatan. Mas Alvin menarik daun pintu,  dan terdengar bunyi pintu di kunci dari luar.

Rahasia Suamiku √Where stories live. Discover now