Bagian 2

10.3K 420 21
                                    

Aku tidak tahu berapa lama aku terpejam. Namun, saat ini yang kurasakan adalah remuk di sekujur badan. Aku menggeliat, dan berusaha menerjang cahaya yang masuk menyilaukan.

“Selamat pagi, Nyonya.” Suara halus nan lembut itu menyapa pendengaranku yang baru terjaga.

Aku menoleh ke samping, dan mendapati seorang gadis muda tersenyum cerah. Pakaian hitam putih khas pelayan melekat di tubuhnya. Rambut panjangnya yang di kuncir kuda menambah kesan muda di parasnya. Tangan mungilnya begitu cekatan membersihkan seisi ruangan, dan bahkan sama sekali tak membuatku bangun dari ketidaksadaran.

“A-ada apa, Nyonya?” Ia terlihat salah tingkah, menunduk memandang sepatu flat lusuhnya seolah sedang ditelanjangi oleh tatapanku.

Aku pun mencoba mengerti. Walaupun keberadaannya sangat asing untuk dikenali. Dia sebelumnya tidak pernah ada di rumah ini.

“K-kamu siapa?” Suaraku seperti tersangkut di tenggorokan, tercekik oleh ludahku sendiri.

“Saya pembantu di rumah ini. Bersama Ibu saya juga,” sahutnya.

Aku tak menjawab lagi. Berusaha bangkit untuk meraih segelas air di atas nakas yang selalu ada setiap hari. Gadis itu mendekat, ia buru-buru mengambilkannya dengan cekatan.

“Nyonya sebaiknya istirahat, tadi Tuan bilang Nyonya lagi sakit,” tukasnya.

“Saya baik-baik aja. Siapa nama kamu?” tanyaku penasaran.

“Nabila, Nyonya.”

“Berapa umur kamu?”

“17 tahun, Nyonya.”

Muda sekali. Namun, ia sudah bekerja menjadi pembantu rumah tangga bersama ibunya.

“Kamu nggak sekolah?”

Gadis itu menunduk, terlihat memainkan jemarinya, dan sepasang mata itu berembun. Aku tahu, dia ingin menangis.

“Saya sudah berhenti, Nyonya. I-ibu saya nggak punya biaya lagi,” jawabnya pelan.

Aku mengangguk. Lalu menggenggam tangannya berusaha menguatkan. Kasihan sekali, pikirku.

“Oh, ya, Nyonya butuh apa? Biar saya bilang ke Ibu,” tukasnya cepat.

“Nggak butuh apa-apa. Kamu kembalilah bekerja, saya mau mandi,” pungkasku.

“Eh, ba-baik, Nyonya.” Gadis itu pun pamit padaku, dan keluar dari kamar dengan seutas senyuman hangat.

Ke mana Alvin? Ah, lelaki itu pasti sudah pergi meninggalkan rumah di pagi buta. Bukannya selalu seperti itu selama satu bulan ini. Entah apa yang dia lakukan, tapi pulangnya selalu saja tengah malam.

Aku bukan tidak pernah menunggunya, tapi sering pula mendapatkan tatapan sinis darinya. Dia tidak akan repot-repot memindahkanku ke kamar jika sampai ketiduran di ruang tamu. Esok paginya, aku selalu menemukan diriku masih di tempat yang sama.

Lalu, lelaki itu dengan tanpa sepengetahuanku sudah melesat meninggalkan rumah lebih pagi. Aku pikir, apa yang dia lakukan adalah caranya untuk menyiksaku. Bukankan itu yang di malam pernikahan kami dia katakan.

Pikiranku menerawang di hari pertama kami dipertemukan. Aku tak bisa menutupi semu dadu di pipi kala itu. Seberkas senyuman hangat, dan genggamannya yang menyengat, masih terekam begitu lekat.

Bagaimana kami pernah berbagi tawa, dan satu bulan lamanya kupikir sudah mengenal lelaki itu luar dalam. Perasaan yang membuncah di dada, tiap kali mata saling melekatkan tatap. Serupa bunga-bunga yang mekar di musim semi, gambaran hati yang sempat mewangi.

Rahasia Suamiku √Where stories live. Discover now