Bagian 19

3K 203 10
                                    

Aku baru saja selesai melakukan pertemuan penting dengan klien. Mas Ardian juga turut hadir bersama putrinya, Dila.

Gadis kecil itu begitu mirip dengan kakakku, garis wajah tegas, tapi memiliki figur lembut. Sementara caranya bicara seperti Mbak Hanum, Mamanya.

"Tante, kenapa Om Alvin nggak pernah kelihatan?  Dia ke mana?" tanyanya begitu kami selesai memesan makanan.

Aku tergagap, setengah tak percaya kalau Dila akan menanyakan mantan suamiku. Ya, aku sudah memutuskan untuk menandatangani surat gugatan perceraian itu. Walaupun hatiku berdarah, dan tertatih menahan perih. 

"Om Alvin di luar negeri, Sayang. Makanya nggak ada kelihatan," pungkas Mas Ardian yang langsung menatapku penuh sesal.

"Yah ... padahal aku kangen sama Om Alvin, Pa. Dia baik banget, suka ajak aku jalan-jalan, beli es krim, main game dan---"

"Makanan sudah sampai, Sayang," potongku cepat.

Aku tidak sanggup mendengar lebih banyak lagi tentang Mas Alvin. Itu hanya akan membuat sebagian diriku kesakitan. Jadi, kubiarkan Dila menelan kata yang sedari tadi ingin ia perpanjang.

"Wah! Ini kesukaan aku sama Om Alvin lho, Pa. Kepiting masak gulai, Tante nggak mau coba?" tawar Dila yang masih sibuk berceloteh tentang ia, dan Mas Alvin.

Aku terpaksa harus mendengar sepotong nama yang membuatku terluka itu disebut-sebut. Bagaimanapun juga, aku tidak ingin membuat kesan buruk soal Mas Alvin di depan Dila.

Gadis kecil itu tidak tahu apa-apa. Mata itu masih terlalu polos memandang dunia. Mas Alvin memang memperlakukan Dila seperti anaknya. Wajar, jika Dila selalu mengenang segala kebaikannya.

"Udah dong cerita tentang Om Alvin, kasihan dia keselek di sana. Nanti nggak bisa ajak Dila main lagi lho." Mas Ardian lekas menasihati putri kecilnya itu.

Senyum lebar disertai anggukan Dila, membuatku menghela napas lega. Akhirnya gadis kecil itu mengerti jua.

Aku sibuk dengan makanan di piring, sembari tertawa kecil ketika Dila memamerkan kepiting yang nyaris habis tak bersisa. Tanpa sengaja tatapanku melekat pada satu sosok yang mengayunkan pintu mobil.

Beberapa suara berkumandang keras meneriakkan namanya, lelaki yang belakangan ini menjadi perbincangan hangat di jagad media. Setelah mega proyek pembangunan apartemen di Surabaya, ia sering muncul di media.

"Rin, itu Max, kan? Pengusaha yang kamu datangi di Milan." Mas Ardian menyuarakan isi pikiranku, sebelum aku sempat menuangkannya.

"Iya, Mas. Sepertinya dia baru pulang dari Milan."

"Wah ... boleh dong ajak Mas ngobrol sama dia? Kayaknya bagus buat partner bisnis yang lebih besar," tuturnya.

"Iihh ... Mas Ardian nggak malu apa? Aku nggak enak sama Max."

"Kan kamu dekat sama dia. Ayolah, Rin ... kamu nggak mau bantuin Masmu ini?" rayunya.

Dasar kakak sialan! Mungkin dia tidak tahu bicara dengan Max membuat nyaliku mendadak hilang. Aku tidak akan sanggup menyapanya dengan kalimat basa-basi, dan entahlah.

Aku tidak menyadari kapan Max tiba di hadapanku, tapi yang jelas lelaki itu membentangkan senyumnya untukku.

"Silakan duduk, Mr. Max. Senang bertemu lagi dengan Anda," ujar Mas Ardian seraya mengedipkan mata padaku.

"Ya, Pak Ardian. Terima kasih atas kebaikan Anda."

"Saya ingin sekali mengobrol lebih banyak dengan Anda, tapi saya ada pertemuan dengan klien lain. Jadi, mungkin Mr. Max bisa berbincang dengan adik saya." Mas Ardian memasang tampang yang membuatku ingin sekali menamparnya.

Rahasia Suamiku √Where stories live. Discover now