Bagian 9

5.1K 359 17
                                    

Malam menyambut bersama udara dingin berembus membelai kulit. Aku merapatkan mantel yang membungkus tubuh, berharap udara dingin mampu terurai.

Jalanan kota Milan masih diisi kesunyian, seiring butiran-butiran kapas yang kian membesar setiap terkena terpaan angin. Aku mengusap kedua lengan, meniup kedua telapak tangan untuk menciptakan kehangatan dari bekunya malam.

"Kau kedinginan?" Max meraih jemariku, mencoba menyebarkan kehangatan dari tubuhnya.

Sesuatu dalam dadaku pecah dengan parah. Kelembutan yang lelaki itu berikan, sanggup menghangatkan seluruh permukaan tubuhku begitu saja.

"Max ... aku--"

Kata selanjutnya tersangkut di tenggorokan, kala telunjuk lelaki itu singgah tepat di bibirku. Sejenak kebisuan terasa mengurung kami berdua dalam rasa yang berbeda.

"Aku tidak mau kau kedinginan, dan sakit setelah tiba di negaramu." Max memasang senyum yang membuat siapapun meleleh karenanya.

"Terima kasih untuk semua bantuan," balasku seraya mengukir senyuman.

Max mengangguk, sebelum akhirnya sibuk berbicara dengan seseorang di telepon. Kebetulan aku kurang menguasai bahasa Italia, dan hanya beberapa kosa kata saja kupahami. Jadi, aku tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan.

Aku melepaskan napas yang terasa berat. Kembali pulang adalah yang sangat aku inginkan, tapi tiba-tiba saja rasa takut menyerbu begitu saja.

"Silakan masuk, Signorina." Seorang lelaki berseragam pilot menuntunku memasuki sebuah jet pribadi yang menampilkan kemewahan di dalamnya.

Sejenak membuatku takjub akan kemewahan yang terpampang di dalam kabinnya. Sudah ada selimut, lengkap dengan tempat tidur nyamannya.

"Max, apa kau yang akan membawa pesawat ini?" Aku memandangi Max yang tampak menaikkan sebelah alis seraya
tertawa kecil, lalu menggeleng.

Ia menghempaskan tubuh di sampingku, dan memandang keluar jendela. Kedua lengannya menyilang di depan dada, sementara kepalanya bersandar nyaman.

"Aku membawa pilot lainnya. Lagipula, aku sedang lelah, dan ingin tidur malam ini."

"Kenapa kau memaksa berangkat malam ini juga jika kau lelah?" Aku menatapnya lamat-lamat.

"Aku sedang ada urusan di Indonesia, dan Uncle Drey memintaku secepatnya ke sana."
Lelaki itu berbaring dengan tangan sebagai bantal. Sementara tatapannya menikamku begitu dalam.

Aku gelagapan, dan lantas mengalihkan tatapan ke arah lain. Tak sanggup menerima suapan pesonanya yang menggetarkan.

"K-kenapa kau tidak bercerita padaku siapa dirimu, kalau kau dari keluarga Tyler yang mendunia itu?"

"Kau tidak bertanya, dan bagaimana kau bisa tahu?" Lelaki itu memasang wajah bertanya ketika aku menatapnya perlahan.

"Megan yang mengatakan."

"Dasar pelayan bocor!" umpatnya.

"Jadi, tadinya kau berniat menyembunyikan?" tudingku sembari memasang wajah tak senang.

"Aku tidak suka mengumbar siapa diriku, Arin. Kuharap kau tidak membenciku karena hal ini. Siapa tahu kau bersedia hidup selamanya denganku di kota ini." Sepasang netra lelaki itu mengedip nakal, dengan wajah yang beralih dicondongkan.

Kedua tangan kekar itu sudah mengurungku, dengan posisinya berada di atasku. Wajahnya semakin mendekat, dan embusan napas panasnya mengembus puncak kepalaku, menggelitikkan sensasi asing sekaligus bayangan mengerikan.

Rahasia Suamiku √Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon