Bagian 22

3.1K 158 9
                                    

Hai ....
I'm comeback
Sorry banget ya, saya selalu telat update. Soalnya saya jualan, dan jadi kurir delivery makanan online.

Waktu mau menulis agak susah. Butuh berhari-hari saya nyelesain satu chapter. Belum lagi mikirnya, ya, kan.

Yang bosan silakan nggak usah nungguin lagi ya. Mungkin beberapa bab lagi selesai, dan mau ganti lapak baru 😆😆

Tetap jaga kesehatan ya.
Selamat membaca. 😊

----------

Perasaan waspada menyergap, ketika aku menyusurkan langkah demi langkah menembus gedung-gedung pencakar langit. Pekatnya malam bersama udara berembus membelai kulitku yang tidak tertutup. Surai panjangku berkibar diayun angin yang menari-nari.

Kakiku terayun memasuki sebuah bar yang pengap, dan sesak. Dipenuhi aroma tajam minuman juga asap rokok yang memaksa masuk ke indera penciuman. Suara percakapan, dan tawa diiringi teriakan bergema memenuhi seisi penjuru. Suara musik yang tak kalah kencang menghentak mendebarkan dada.

Aku menyisir sekeliling ruangan, dan mataku menemukan lelaki yang kucari-cari selama ini. Berada dalam kurungan dua wanita yang sedang asyik bertukar liur dengannya. Benar-benar menjijikkan!

Aku mengenyahkan suara dalam benakku, yang membisikkan kata-kata iblis untuk menyayat tubuhnya, atau menembak lelaki itu hingga tewas.

Bartender dengan kumis tipis yang sibuk meracik minuman, melempar pandangan padaku. Senyum ramah terlukis di bibirnya, seperti magnet yang memaksaku mendekat.

"Minum apa, Mbak?" Lelaki itu bertanya dengan senyum yang melekuk sempurna.

Aku tidak pernah menyesap alkohol sekalipun, bagaimana caranya memata-matai mereka jika seperti ini.

"Orange jus, aja." Aku menjatuhkan pilihan, dan membiarkan reaksi bartender berparas tampan itu tercengang.

"Di klub biasanya buat senang-senang, Mbak. Ini Mbak malah cuma mesan orange jus, yakin?" Bartender muda itu kembali bersuara.

Aku menolehkan kepala, memberinya tatapan yang jika diterjemahkan, berarti diam atau mati.

Akhirnya ia menuruti permintaanku, segelas besar orange jus yang sanggup menghilangkan dahagaku. Sementara sepasang mataku masih memindai sosok yang sejak tadi masih sibuk dengan dua wanita itu.

Aku mengikat rambut panjangku, menarik lengan jaket hingga sebatas siku, dan menurunkan kaos panjang yang tadi kuikat ujungnya.

Memerhatikan diriku sejenak, setelah yakin bahwa segalanya aman, aku berderap menuju kerumunan orang yang menggoyangkan tubuh menikmati alunan musik.

Lampu kemerahan yang berpendar remang membuat pandangan mataku sedikit kesulitan menembusnya. Tapi aku tidak salah dalam mengambil keputusan, karena Jovan benar-benar menuju tempat di mana aku berdiri.

Hanya saja, saat lampu kembali redup, aku kehilangan jejaknya. Aku memutuskan untuk mencarinya kembali, dengan mendesak orang-orang penggila hiburan itu minggir.

Aku nyaris terpental saat bertabrakan dengan tubuh seseorang. Samar, terlihat rahang lelaki itu mengeras, dan detik berikutnya merenggut kasar rambutku.

"Sial! Apa kamu nggak punya mata?"

Jantungku memukul semakin keras, ketika mengenali suaranya. Ia lelaki yang sedari tadi kuintai, dan aku buru-buru menanggalkan tarikan tangannya seraya menyeret langkah menjauhi kerumunan.

"Hei! Jangan lari pengecut!" teriaknya kasar.

Well, mari kita lihat, siapa yang baru saja ia katai pengecut. Kuharap Jovan menyesal karena telah melemparkan kata-kata sialan itu. Memangnya ia siapa berani mengataiku, tanpa lebih dulu mengetahui.

Rahasia Suamiku √Where stories live. Discover now