Bagian 4

9.6K 467 59
                                    

Udara seakan lenyap dari sekitar, begitu kata-kata menyakitkan terlontar keluar. Aku masih membeku, menunggu dalam keheningan.

“Alvin, Mama nggak pernah suka kalau kamu memperlakukan Arin semena-mena.” Tatapan wanita paruh baya itu menajam, seiring kediaman Alvin yang melirik sinis padaku.

“Mama nggak usah ikut campur urusan kami berdua. Dalam rumah tangga bertengkar itu biasa, kan? Lagipula ini semua nggak ada hubungannya sama Kania. Mama berhenti jelek-jelekin dia,” pungkas lelaki itu dengan nada tak senang.

“Kamu masih membela wanita pembawa masalah itu, Alvin? Harus berapa kali Mama bilang kalau dia nggak baik buat kamu!”

“Terus Mama mau bilang, Arin yang lebih baik, dan terbaik buat Alvin?” Lelaki itu mengepal seiring tangannya bergerak meraih tanganku, dan meremas sekuat tenaga.

Aku merasakan wajahku memanas, seiring cengkeraman lelaki itu kian mengetat. Aku mencoba menariknya, tetapi dia semakin bersemangat menyalurkan emosinya.

“Sejak kapan kamu membantah, Mama? Sejak kamu membela mati-matian wanita itu, kan?” Mama menatap wajah putranya yang tampak bermuram durja.

“Ma, please. Kania nggak ada hubungannya sama ini semua. Alvin mencintainya, Ma.”

Seperti ada peluru tak kasat mata menembus dadaku yang kini terasa panas oleh pengakuannya. Embun di mata mengaburkan pemandanganku, sehingga semua tampak memburam karena desakan air mata.

Rasanya memang menyakitkan, saat kembali mengingat pengakuan lelaki itu. Suaranya seakan bergema, memantul dalam benak seolah mengejek kekalahanku.

Suara-suara itu berdengung bagaikan nyanyian sumbang yang semakin lama semakin bising. Tapi aku lantas membangunkan benakku yang dikikis perasaan asing.

Namun, sengatan pilu yang diberikan lelaki itu menancap dalam dada. Menjalarkan sengatan sakit yang membuat sarafku kacau. Benakku pun terus menyerap kata-katanya bagaikan mantra.

“Mama harusnya tahu, dari awal Alvin nggak mencintai, Arin! Masalah hutang keluarganya nggak cukup dibayar dengan harga dirinya!” Suara lelaki itu menyentakku, kalimat hinaan yang kali ini sungguh begitu keterlaluan.

Raut wajah lelaki itu berubah dalam sekejap. Sinar matanya menyiratkan kebengisan kental. Senyum sinis melengkapi sudut bibirnya yang tertarik semakin tinggi.

“Jaga omongan kamu, Alvin!” Suara berat lain dengan nada dingin, dan tajam berlarut-larut di udara.

Aku menatap nanar, Papa yang baru saja turun dari lantai atas. Penampilan lelaki paruh baya itu terlihat kacau. Ada kemarahan yang berbayang di sepasang netra pekatnya.

“Kamulah yang membawa kesialan dan masalah di mana-mana! Lalu kamu dengan seenaknya menyalahkan istrimu? Di mana akal sehatmu, Alvin?”

Aku tak pernah mendengar nada dingin dari lelaki paruh baya itu. Namun, suaranya sanggup mengendurkan keberanian yang berusaha aku bangkitkan.

“Papa nggak perlu ikut campur urusan Alvin lagi! Ini semua juga karena, Papa!”

“Diam kamu, Alvin!”

Seharusnya pertengkaran ini tidak terjadi, dan seharusnya aku tidak perlu berada di sini. Semua memang salahku, seandainya tidak bercerita pada Mama, dan membiarkan mereka bertengkar, Papa tak mungkin akan mendengar.

“Ma, Pa, ini salah Arin. Mas Alvin nggak salah,” ujarku sembari mencoba meredam kemarahan kedua orang tua Mas Alvin.

“Arin, Papa nggak suka kalau Alvin berlaku semena-mena sama kamu. Bagaimanapun, perjodohan kalian ini sudah kami rencanakan lama, bukan karena masalah hutang perusahaan orang tuamu.”

Rahasia Suamiku √Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt