Bagian 8

5.6K 342 46
                                    

Salju tahun ini turun rintik-rintik, udara yang semula normal mulai dibelai kebekuan. Aku menyibak tirai hingga ke sisi jendela, sibuk mengamati pemandangan indah yang baru kali ini kunikmati.

"Sepertinya kau tampak menikmati salju yang turun kali ini," tukas sebuah suara yang bergaung berat di telinga, dan cukup kukenal belakangan ini.

Tubuhku lekas berputar ke arahnya, dan pemandangan lelaki dengan tubuh atletis berdiri menjulang di hadapan. Dia berjalan mendekat dengan seutas senyum geli.

"Apa yang membuatmu datang ke kamarku tanpa mengetuk pintu?" balasku sebal.

Lelaki itu tertawa yang mengalahkan dinginnya salju. Dia lekas mengempaskan tubuh di sofa samping jendela.

"Seluruh sudut mansion ini tentu tidak harus kumintai izin untuk kudatangi."

Aku menarik sudut bibir, mengukir senyum miring seraya menyandarkan diri ke sisi jendela. Sementara kedua mataku berputar meneliti sesosok lelaki di depanku ini.

"Aku baru tahu kalau ternyata kau ini lelaki sombong."

"Ya, kadang-kadang sombong itu diperlukan untuk sesuatu yang sedikit pribadi," ungkapnya dengan tawa berderai.

Sesaat aku tertegun dengan senyum menyilaukan lelaki itu. Dia lekas berdiri, dan kerling kejora terbit di sepasang netra abu-abunya. Seketika pertanyaan yang hampir kusemprotkan tertinggal di ujung lidah, kala tangan besar lelaki itu sudah lebih dulu menyeret ke balkon.

"Akan lebih menyenangkan jika kau bisa merasakannya secara langsung." Max menengadah ke atas, dan aku mengikutinya membiarkan tetesan salju menimpa sebagian wajahku.

Butiran-butiran kapas itu perlahan mencair oleh kehangatan yang tercipta dari tubuhku. Rasa senang menyeruak dalam dada, kala kenangan masa kecil menggelora begitu saja.

Lelaki di sampingku tampak mengulum senyum. Seketika waktu membuat debar di dadaku terasa lebih kencang. Terlebih, ketika perasaan lain menyelinap diam-diam. Dalam relung jiwa yang sunyi, salahkah aku bila berharap kasih dari seorang lelaki.

Jika apa yang selama ini aku inginkan dari lelaki tercinta justru tidak pernah kudapatkan. Tidak ada lengkung senyum yang menyapa di kala aku bangun dari tidur, atau di saat menunggunya di meja makan dengan hidangan yang sudah dingin.

Namun, tiba-tiba saja di tempat yang jauh ini, Tuhan mengirimiku sosok lelaki dambaan semua wanita. Dianugerahi paras menawan, tubuh keras menggiurkan, serta tatapan tajam yang melenakan.

"Sebaiknya kau lekas masuk, udaranya terlalu dingin." Max bersuara, dan kali ini jemarinya menggenggam tanganku secara tiba-tiba.

Jantungku seketika bagai disengat ribuan volt, kala tangan besar nan hangat itu menggenggam kian erat. Rona di wajahku seketika menebal, tapi tatapan penuh ingin untuk melesat di bawah reruntuhan salju mengentak dalam dada.

"Tidak. Aku ingin berjalan di bawah sana." Kutunjuk jalanan yang begitu lengang tanpa satu pun kendaraan atau lalu lalang orang melintas.

"Are you sure?" Lelaki itu seakan tak percaya.

"Ya!" ungkapku sedikit keras.

Lelaki itu menatapku penuh arti, dan tiba-tiba dia sudah merenggut mantel yang tersampir dibalik pintu. Tanpa harus mengungkapkan dengan sederet kalimat, dia bersedia memenuhi inginku begitu saja.

Jantungku berloncatan riang, begitu menjejakkan kaki di luar pagar mansion lelaki itu. Aku melompat-lompat seraya menadahkan tangan menikmati butiran-butiran halus itu mencair dengan sendirinya.

Rasa dingin yang menyenangkan menyeruak ke seluruh sendi-sendi. Kembali menghidupkan sel yang hampir mati ditelan sepi menghantui. Aku sengaja memejamkan mata, meresapi setiap momen paling indah untuk pertama kalinya.

Rahasia Suamiku √Where stories live. Discover now