Bagian 1

18.4K 523 10
                                    

"Kenapa aku menolak menyentuhmu, karena pernikahan kita dari awal adalah kesalahan!" Suara lelaki itu menggetarkan hatiku.

"Lalu kenapa kamu mutusin buat terima pernikahan kita kalau dari awal niat kamu cuma buat nyakitin aku?"

Aku menahan sesak yang melumuri dada. Bertahan agar tangis tak sampai pecah di depannya. Lelaki yang berusaha aku cintai ini, telah melukai hatiku berkali-kali.

Mas Alvin, melirik sekilas. Bibir itu berkedut samar, tapi bukan sebuah senyuman manis, melainkan ekspresi jijik yang begitu jelas.

"Kamu pikir, aku setuju dengan pernikahan kita. Aku bahkan nggak pernah-" Lelaki itu berhenti bicara sebelum akhirnya membanting pintu ruang kerjanya keras-keras.

Debumnya menyengat lara di hatiku, seakan memberikan luka yang kian tajam saja dia goreskan. Rasa nyeri yang menghujam seakan telah menyatu bersama ragaku yang pelan-pelan terkikis hancur.

Setiap kali aku mengajaknya bicara, dia selalu saja mengucapkan kata-kata menyakitkan. Yes, i know, this marriage is mistake. Pernikahan yang diawali oleh perjodohan lantaran sebuah bisnis yang aku tidak mengerti.

Tadinya, sebelum pernikahan itu berjalan. Lelaki itu memperlakukanku dengan baik. Menghormati selayaknya dia adalah lelaki sejati. Tapi semua hanyalah semu belaka, dan aku terperangkap dalam jeratan yang dibuatnya.

Aku pikir dia bisa kurengkuh dalam tangan, tapi ternyata jarak kami terlampau jauh terbentang. Dia begitu dekat, tetapi begitu sulit untuk dijangkau. Layaknya enigma yang tak mampu ditebak logikanya.

Baginya, aku hanyalah angin yang tak terlihat di mata. Memberinya udara, tapi tak mampu dirasakan sentuhan cinta. Bahkan mengajakku bicara, meski tinggal di atap yang sama saja dia enggan.

Aku kembali meratap. Menekan dada yang kian sesak. Laraku masih membuncah, tangis kian tertumpah ruah.

Kututup wajah dengan kedua telapak tangan, dan rasanya benar-benar menyakitkan. Air mata yang terkekang selama ini, meluncur bebas tanpa sanggup kucegah.

Setelah kesadaran mengalir pelan, aku segera menghentikan tangis, saat ingat bahwa Mama mertua akan tiba. Berusaha mengubah raut wajah agar tampak baik-baik saja. Aku tak mau Mama tahu perbuatan anak lelakinya yang gemar melemparkan sikap tak menyenangkan selama kami menikah.

Bukan aku tak bisa pergi, bahkan aku ingin sekali melakukannya dalam hidup ini. Ingin menjadi pembangkang yang berani mengambil keputusan.

Namun, aku tak mau menyakiti hati Bunda dan Ayah. Mereka pasti hancur jika melihat rumah tanggaku berantakan. Harapan yang walaupun sangat melukai, harus tetap membuatku bertahan.

Lelaki dingin itu, kutahu sedang memendam segala putus asanya. Namun, entah apa salahku hingga ia begitu dalam membenciku. Seolah diri ini sampah yang tak layak untuk disimpan di dalam hatinya.

Ah, mungkin aku yang terlalu naif. Lelaki itu memang memiliki segala keangkuhan tak terkira. Bahkan, selama satu bulan aku di rumahnya, ia tetap tak menolehkan pandangannya.

Tidak pernah memakan masakanku, apalagi berbicara padaku. Ia benar-benar mengasingkanku di dunianya yang gelap dan suram. Ia menolak disirami cahaya terang, atau pendar lilin kecil sekalipun. Aura yang terpancar di wajahnya, hanya kilasan amarah, dan juga dendam yang menyala di sepasang manik hitam gelap itu.

"Arin, kamu kenapa?" Mama tiba-tiba saja sudah masuk ke rumah, dan memergokiku tengah menangis.

"Mama ...."

"Kamu kenapa nangis, Sayang? Apa terjadi sesuatu?" Wanita lembut itu mendekapku dengan penuh kasih.

"Sudah, Nak. Cerita sama Mama, kamu kenapa?" Lagi, senyum itu menghangatkan, seperti mentari pagi yang menyapa hati.

Rahasia Suamiku √Where stories live. Discover now