Part 1

1.4K 118 5
                                    

"Sudah dimulai. Apa kau mau melihatnya?"

"Tunggu sebentar," Cairan pahit terasa membakar kerongkongannya sebelum mengalir dan dicerna di perutnya. Dengingan di pembuluh darah mengusir sisa kantuknya, dan tiba-tiba, musik yang meraung-raung, suara orang yang bercakap-cakap dan dentingan gelas semakin jelas di telinganya. Minuman keras selalu membangkitkan energinya. "Kita tidak pernah bisa mempercayai Sungjong, bukan? Bukannya aku percaya pada siapa pun, tidak juga padamu."

Taeyong bangkit dari kursi bulatnya, menyeka cairan berlebih yang menetes di sudut bibirnya dengan punggung tangan lalu berjalan menuju ruangan yang paling tersembunyi di dalam bangunan kasino Red Phoenix ini. Di belakangnya, ada Myungsoo yang mengikutinya dalam diam, mata hitamnya terpaku pada sosok Kingpinnya.

Ruangan itu, yang disebut oleh Taeyong sebagai Ruang Hitam, hanya bisa diakses oleh orang-orang yang direkrutnya untuk sebuah pekerjaan spesifik, satu jenis pekerjaan yang dulunya sangat dinikmati olehnya saat hidupnya masih membosankan. Selain Myungsoo, hanya Sungjong, Chanyeol dan Yukhei yang tahu sandi pintu ruangan ini. Mereka adalah orang-orang terpilih yang mampu melakukan pekerjaan lamanya tersebut tanpa terbawa suasana.

Jeritan yang teredam bergema saat mereka memasuki ruangan. Ketika asistennya mengunci pintu kembali, suara gegap-gempita dari luar sana menghilang, digantikan oleh erangan dan tangisan dan teriakan yang mana jika didengar oleh orang awam bisa membuat trauma seumur hidup.

Semua karena Sungjong yang tidak bisa berhenti menyayat lengan telanjang milik seorang pria yang sedang diikat. Garis-garis merah menghiasi kulit pria tak bernama tersebut, dalam dan lembap, kental dan berbau metal.

Sang penyiksa baru berhenti saat menyadari kehadiran bosnya. "Sepertinya kita tidak akan mendapatkan uangnya kembali." Pria cantik berambut pirang itu bicara, menjatuhkan pisaunya di lantai. Jatuh dengan suara kelontangan, bersatu dengan genangan merah di bawah sana. "Seharusnya kita melacak ayahnya saja."

"Dan apa serunya kalau begitu?" Mata biru memandangi bercak darah di pakaian Sungjong. Hidung Taeyong dikerutkan. "Sudah kubilang selalu kenakan pakaian hitam saat bekerja."

Yukhei menarik kepala tawanan itu dan memaksanya melihat ke arah Taeyong yang berjongkok di hadapannya, meneliti sanderanya. "Katakan di mana pengecut itu berada dan kami akan melepaskanmu. Lihat," Sebuah jari berjalan di atas luka sayatan itu, dan Taeyong bersorak dalam hati setelah merasakan ototnya yang mengejang dan pori-pori kulit tanda merinding. "Akan jauh lebih mudah bagimu. Bukannya kau punya keluarga yang sedang menunggumu di rumah, André?"

Pria itu gemetaran makin hebat, air mata menggenang di sana. Pemandangan menyedihkan itu membuat Taeyong mendesah walau wajahnya masih tetap tak berperasaan dan ia berdiri, menepuk-nepuk jasnya. "Lanjutkan pekerjaanmu. Jangan bunuh dia. Yukhei, tugasmu untuk mencegah itu terjadi dan di mana pun Chanyeol berada, bilang padanya untuk membersihkan ruangan ini begitu kalian selesai."

Ia berputar, hendak pergi keluar ketika sesuatu terlintas di benaknya. Kepala Taeyong dimiringkan, matanya memandang langit-langit ruangan. "Akan lebih susah kalau kau bekerja saat aku sudah kembali nanti. Moral omong kosong."

"Apa artinya itu?" Myungsoo bernapas di belakangnya, udara hangat itu mengenai bahunya dan juga sisi lehernya. Terlalu dekat. Taeyong menahan amarahnya. "Kau tidak pernah peduli sebelumnya."

"Simpan pertanyaanmu. Kau akan tahu nanti." Kingpin itu melirik sekilas lewat bahunya ke arah penyiksa berambut pirang sebelum pergi meninggalkan Ruang Hitam, masih dibuntuti oleh L.

Mereka keluar lewat pintu belakang. Sudah hampir pukul 3 pagi, dan seingin apa pun ia untuk tinggal dan menonton kegiatan tadi, ia harus bersiap-siap untuk penerbangannya 3 jam dari sekarang.

Kasino Red Phoenix mengecil inci demi inci seiring mobil melaju di jalanan yang sepi. Taeyong menggerutu, melonggarkan kerah pakaiannya. Hari yang melelahkan. Salah satu dari peminjam uang tidak dapat ditemukan di mana pun. Sebenarnya jumlah tersebut bisa didapatkannya dalam sekejap mata, namun hama tidak tahu diri macam itu harus diberi pelajaran, tentu saja. Ia nyaris merasa kasihan pada André, tetapi semua orang yang sudah melakukan kesalahan serupa sudah mengalami siksaan juga di bawah tangan Lee Sungjong.

Kesetaraan. Semua harus menitikkan darah hingga kekalahan sudah di depan mata. Lalu mereka akan diberi kesempatan kedua. Karena Jung Jaehyun tidak akan senang mendengar perbuatan Taeyong.

"Mampirlah ke kantor sebentar. Aku melupakan sesuatu." Mobil berbelok tajam. Myungsoo melihat ke Kingpin sedikit terlalu lama sebelum kembali melihat jalanan. "Ada botol di mejaku. Bawalah bersamamu."

"Parfum yang itu?"

"Parfum yang ITU."

"Beli saja yang baru."

Semenit kemudian, mereka sampai di Markas Besar. Taeyong melihat asistennya yang duduk di kursi penumpang, dan sebelum pria itu menyadarinya, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana panjangnya, menyembunyikan tangannya yang berkedut. "Ambil botolnya dan siapkan kopermu. Kita bertemu di bandara. Kalau kau tidak datang tepat waktu aku akan mengulitimu hidup-hidup."

"Sialan," dengan keluhan yang digumamkannya, Myungsoo membuka sabuk pengamannya dan keluar dari mobil, lalu menutup pintunya. Ia membungkuk dan mengetuk jendela sekali. "Hati-hati?"

Menyebalkan. Kim Myungsoo sangat menyebalkan. Ia pikir ia siapa, menyuruh Taeyong melakukan sesuatu? Hati-hati? Hah. Bukan Lee Taeyong namanya jika ia berhati-hati dan aman.

"Enyahlah, L."

Ketika sang Kingpin berkendara menjauh dan mobilnya menghilang dari pandangan, Myungsoo masih berdiri di tempatnya. Selalu seperti ini sejak hari pertama ia resmi bekerja untuk sang Kingpin kedua Invictus. Selalu melihat Taeyong hingga ia sudah pergi, karena setiap detik ada di dekatnya sama dengan satu detik di mana ia terlarut dalam perasaannya.

Ia tidak tahu sejak kapan ini terjadi. Ia hanya sadar bahwa perasaan itu ada di sana. Seaneh apa pun itu, ia benar-benar merasa tertarik. Mungkin dimulai dari malam di mana Taeyong menemukannya, atau ketika Taeyong memercayainya untuk mendapat jabatan penting di dalam organisasi. Apa pun alasannya, perasaan itu ada dan susah untuk disangkalnya. Ia sudah diperingatkan; ia masih mengingatnya dengan jelas.

Tapi semakin lama ia berada di dekat Lee Taeyong, semakin ia ingin, semakin ia berpikir bahwa ia punya kesempatan untuk mendapatkannya. Apa yang bisa dilakukan Jung Jaehyun, pria itu ada beribu mil jauhnya dari Paris, tidak punya kendali apa-apa, berkat jarak dan perbedaan waktu?

Sedikit lagi, Myungsoo tersenyum seraya memindai kartunya dan masuk ke dalam kantor utama untuk mengambil parfum yang dimaksud. Parfum tersebut dibuat khusus untuk Lee Taeyong; tidak ada lagi di seluruh dunia, satu-satunya. Matanya mengeras ketika ia membalikkan botol itu di tangannya, terukir nama rivalnya di sana, seolah menatapnya menantang. Kau bisa memilikinya sekarang, tapi akhir cerita selalu bisa diubah, bukan?

[4] What Lies Ahead: Fated (JaeYong)Where stories live. Discover now