Part 10

506 72 0
                                    

Untuk beberapa menit ia tetap diam di tempatnya, duduk di pojok dengan gelas terisi minuman tak bernama. Pemandangan Doyoung dan Ten yang tak henti beradu mulut mengalihkan pikirannya dari banyak sekali beban di benaknya, dengan yang utama adalah bagaimana Jaehyun sangat berdedikasi pada bisnisnya.

Ia menolak untuk memikirkannya lagi karena selama beberapa bulan terakhir, setelah menjalani hubungan tanpa status jarak jauh, perbedaan waktu, kewajiban yang harus dilakukan, singkatnya waktu untuk mereka berdua bisa lewati bersama dan segala hal itu, Taeyong merasa lelah. Ia tidak pernah menduga, tidak pernah membayangkan ia akan menjalani hal seperti ini. Selama 26 tahun, ia tidak pernah merasa terganggu, ia hanya ingin perhatian orang tuanya dan juga melampiaskan kebenciannya. Kemudian Jaehyun datang dan alih-alih menyudahi obsesi gilanya, ia menjadi semakin melekat dan tergantung hingga ia mulai menginginkan lebih, ingin diperlakukan lebih dari yang ia berikan.

'Itu wajar. Kau masih belajar menyesuaikan diri. Tingkat keparahan sifat psikopatmu tidak begitu tinggi dan kasusmu bukanlah kasus yang tidak punya harapan untuk membaik. Jadi semua perubahan dan ketidaknyamanan yang sedang kau alami, itu semua wajar, semua baik-baik saja. Itu adalah perasaan yang valid. Biarkan dirimu mulai merasakan perasaan itu satu per satu. Memang hanyalah sekelebat dan tidak seintens yang dirasakan manusia pada umumnya, tapi biarkan dirimu merasa kalau perasaan itu datang. Biarkan dirimu dikelilingi seluruh kenormalan itu hingga kau bisa memerintah dirimu untuk lebih menjadi perasa, seperti bagaimana kau mengajarkan dirimu untuk membenci meskipun tidak ada sama sekali kebencian di dalam sana.' Psikiaternya pernah berkata. Rupanya, semua ini alami dan wajar, tapi terlalu baru untuknya. Masih terasa baru meski ia sudah mengalaminya untuk beberapa waktu yang lama. Dan ia sudah berhenti menulisi jurnalnya. Kegiatan itu hanya membuatnya ingin membaca ulang. Dan terkadang itu membuatnya tersiksa.

'Dan ketika kau sudah mampu merasakan satu emosi yang paling membuatmu tidak nyaman, maka itulah tanda bahwa kau sudah berhasil.'

"Taeyong," Johnny menariknya keluar dari lamunan. "Apa kau tahu di mana Jaehyun? Fort ingin bermain kartu."

"Dia pergi ke kamar. Ingin muntah atau apa pun itu."

"Oh, baiklah. Katakan padanya kalau dia sudah kembali."

Lalu ia sendiri lagi. Jaehyun masih belum kembali? Omong-omong, ia sudah pergi selama, Taeyong mengeluarkan ponselnya, hampir setengah jam. Itu berarti ia sudah bertarung dengan pikirannya sendiri selama itu pula.

"Apa dia mati?" Ia menaruh gelasnya di atas meja. Kim Myungsoo berjalan melewatinya, secara mengejutkan tidak menyadari keberadaannya. Sepertinya pria itu berganti pakaian, serba hitam. Dan untuk apa? Taeyong mendengus. Asistennya itu sama anehnya dengan dirinya.

Taeyong menaiki elevator supaya lebih cepat, kalau-kalau si idiot Jaehyun itu benar-benar mati saat sedang muntah.

Ia dengan cepat keluar dari elevator ketika pintunya terbuka. Namun sebelum ia memasuki kamar 302, sesuatu yang janggal menarik perhatiannya.

Di lantai ini hanya ada mereka berdua karena Jaehyun tidak mau diganggu. Tetapi pintu kamar 304 sedikit terbuka. Berpikir bahwa seorang staf pasti lupa untuk menutupnya lagi, ia mendekati kamar itu, lalu ia berhenti ketika melihat apa yang ada di dalam sana.

Celah kecil itu membuatnya menyaksikan apa yang terjadi. Taeyong mematung, matanya mengeras dan dingin dan mematikan seraya melihat seorang perempuan berada di atas tubuh pria yang tak lain adalah Jung Jaehyun yang sedang pingsan.

Perempuan itu menikmati waktunya untuk menciumi sekujur wajahnya, kulit lehernya dan bahunya selagi tangannya menjelajahi seluruh bagian tubuh yang bisa dijangkaunya. Gerakannya rileks dan juga terburu-buru, seperti ia tidak boleh berlama-lama di sana. Pria itu tidak bergerak sama sekali. Apa si bangsat itu pingsan setelah mengajak pelacur ke sini? Dari mana datangnya perempuan itu?

Pertanyaan memenuhi kepalanya. Ia masih tetap di tempatnya, menonton, memperhitungkan tindakan selanjutnya, terlalu tenggelam dengan kemungkinan yang terjadi selama 30 menit terakhir, hingga ia tidak menyadari bahwa tangannya sudah berkedut-kedut familier.

Taeyong mengenakan topeng sandiwara di wajahnya, mendorong pintu itu terbuka, melangkah masuk dengan tampang polos. "Permisi, hai, kau tahu kau membiarkan pintunya terbuka. Jadi itu artinya aku bisa menyelinap masuk, bukan?"

Jalang itu dengan berani menutupi tubuhnya dengan bantal walau masih mengenakan gaun musim panas yang terbuka. "Oh, maaf. Kukira... ah, tidak jadi." Semu merah muda merona di pipinya. "Bisakah kau menutupnya? Aku sedang sibuk seperti yang bisa kau lihat..."

"Sibuk?" Taeyong tertawa, melirik Jaehyun yang sedang tertidur. "Dia pingsan. Apa kau suka mengerjakan semuanya sendirian? Kalau aku adalah kau, aku akan meninggalkan kamar ini. Tapi sayangnya kita tidak berpikiran yang sama dan aku bukanlah orang yang harus menikmati penis lemas itu." Ia berkata, menyadarkan tubuhnya di pintu, tangannya di dalam saku celana.

Tentu saja, kata-katanya itu menyinggung dan itu tampak dari cemberut di wajah si jalang. "Ini sama sekali bukan urusanmu..."

"Memang bukan, tapi, hei," Kingpin itu berakting seolah-olah ia memeriksa koridor meskipun tidak akan ada yang melewati tempat itu saat gedungnya masih disewa Invictus. "Di mana kau bekerja? Di sini?"

Walau curiga, ia menjawab dengan jujur. "Tidak, tapi kalau kau tahu toko di pantai yang menjual pakaian renang, di situlah aku bekerja. Itu milikku, sebenarnya."

Bibir yang tipis terlipat. "Sepertinya aku tidak mampir ke sana karena aku tidak perlu pakaian renang. Baiklah. Kau tidak bekerja di sini. Sekarang ke masalah yang lebih penting," Ia berjalan mengitari kamar, berhenti di hadapannya. "Aku akan menggantikan laki-laki itu. Berikan aku nomormu."

"Apa maksud—"

"Dia pingsan jadi berikan aku nomormu dan aku akan menghiburmu saat kita punya waktu..." Taeyong mencondongkan tubuhnya sejajar dengan pandangan wanita itu, beberapa helai rambutnya menjatuhi mata birunya. "Bagaimana? Aku akan mencarimu kalau aku punya waktu. Ayolah," Ia menjalankan jarinya di dagu wanita itu seraya mendekatkan wajahnya, bibirnya hampir menyentuh bibir perempuan itu. "Aku tahu aku akan menidurimu lebih baik darinya. Dan aku tidak akan pingsan, aku akan menidurimu dengan sadar sepenuhnya."

Itu menaklukkannya. Taeyong tahu ia memang seorang pria penggoda ulung. Perempuan itu terbata-bata, terkejut, tersipu. Wajahnya begitu tampan; siapa yang tidak akan jatuh hati pada kata-kata manisnya?

Pelacur itu melirik Jaehyun sebelum meninggalkannya, mengambil pulpen dari tasnya. "Aku tidak punya kertas." Ia mengambil tangan Taeyong dan tidak berkata apa-apa tentang kedutan yang keras di sana sambil menuliskan nama dan nomornya di telapak itu. Senyum malu menghiasi wajah cantiknya ketika mengambil tasnya, meremasnya. "Ah, aku pergi dulu. Telepon aku..?"

"Ethan."

"Ethan..." Ia mengucapkan nama asing itu sambil menyelipkan rambutnya di balik telinga. "Oke, Ethan. Hubungi aku!" Dan sebelum ia pergi, ia berjinjit untuk mengecup pipinya dengan suara keras.

Taeyong menunggu selama satu menit. Matanya terpaku pada wajah Jaehyun yang sedang tidur. Setelah satu menit usai, ia kembali ke kamar 302, punggungnya menempel di pintu yang tertutup, membaca tulisan yang ada di telapaknya.

"Soobin. Hmm." Ia mengambil ponselnya dan menyimpan kontaknya. "Tidak sabar bertemu denganmu lagi."

Membayangkan apa yang akan terjadi saat mereka bertemu nanti, Taeyong merasa tubuh lamanya yang membusuk kembali hidup — kembali ke hidup yang dijalaninya bertahun-tahun silam, bercorak hitam dan merah.

[4] What Lies Ahead: Fated (JaeYong)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang