Part 17

443 75 0
                                    

Taeyong tidak repot-repot mengumumkan kedatangannya ketika ia memasukkan sandi pintu apartemen itu, berjalan lurus menuju kamar Jaehyun saat ia tidak mendapati pria itu di ruang tamu. Ia berjalan masuk, menutup pintu di belakangnya dan dalam hati berterima kasih pada Tuhan karena lampu utamanya tidak dihidupkan, yang lebih muda tidak akan bisa melihat bercak darah kecil yang bertebaran di pakaiannya.

"Hei, ada apa? Syukurnya aku belum tidur. Aku tidak akan bertanya kenapa kau tidak mencoba tidur." Ialah yang pertama memecahkan atmosfer sedingin es tersebut. Jaehyun menggigit pipi dalamnya dan duduk di tepi kasurnya, matanya bertemu dengan mata biru yang lebih tua. "Dan jangan tanyakan kenapa aku masih berpakaian yang sama sedari pagi."

"Maaf."

Taeyong duduk di sebelahnya. "Lagi."

Jaehyun menggosok hidungnya, pipinya memerah. "Aku minta maaf, Taeyong. Untuk semua yang kukatakan hari ini."

Detik demi detik bergulir sebelum ia mendapat jawaban. Heningnya sangat memekakkan. "Kau tahu, tidak apa-apa." Taeyong mengangkat bahunya. "Lupakan saja. Aku sudah mengatakan semua yang harus kau dengar. Aku memendamnya dan sekarang semuanya sudah terpampang jelas. Selanjutnya kuserahkan padamu saja."

"Aku sadar, oke?" Jaehyun menatapnya, rasa bersalah mengabuti paras tampannya. "Aku sadar apa yang sudah kulakukan. Sebagian besarnya. Aku keterlaluan, aku terlalu khawatir, overprotektif, cemburu tidak karuan, aku merasa tidak aman dan juga senang menuduhmu, itu sangat tidak adil. Bisakah aku menjelaskan dari sudut pandangku?"

Ia sejujurnya terkejut sekaligus penasaran akan isi pikiran Jaehyun, Taeyong mengangguk. "Silakan."

"Aku mencintaimu."

Taeyong berkedip beberapa kali. "Aku tahu—"

"Aku mencintaimu dan ternyata aku tidak tahu bagaimana cara mencintaimu dengan benar, aneh, bukan? Kau," Tangan Jaehyun meremas tepian ranjang dengan keras. "Dulu aku tidak suka padamu. Kukira aku straight, lalu suatu hari sebuah perasaan yang entah datangnya dari mana tumbuh di dalam diriku. Aku hanya ingin sebuah nama untuk diriku..." Ia berhenti sejenak, diam-diam melirik Taeyong, melihat apakah pria itu mendengarkannya atau tidak. "Pengakuan dari orang-orang, dan kekuasaan, uang; aku mendapatkan semua itu tapi aku juga mendapatkanmu. Seorang laki-laki, bahkan. Seperti sebuah bonus. Aku mencintaimu namun aku telah gagal. Aku berjanji akan mengunjungimu di rumah sakit jiwa tapi apa?" Merengut, ia berdiri, berjalan mondar-mandir seraya menggosok pelipisnya.

Yang lebih tua masih di tempat tidur, matanya mengikuti pergerakan Jaehyun.

"23 bulan, aku hanya mampir dua kali? Tiga kali? Aku bahkan tidak ingat. Dan yang kubicarakan hanyalah tentang Invictus. Aku tidak banyak bertanya tentangmu. Aku memikirkanmu saat aku berusaha membangkitkan organisasi kita dari puing-puing, aku merindukanmu tapi keserakahanku, harga diriku, dan mimpiku untuk membuktikan kepantasan diriku membuatku jarang menemuimu karena," Akhirnya, Jaehyun berhenti berjalan dan ia melonggarkan kepalan tangannya. "Karena aku ingin sekali membangun jaringan dengan orang-orang yang tidak akan memedulikanku nantinya. Aku membuangmu demi mereka. Aku membuangmu demi uang dan uang."

Ketika ia berbicara, Taeyong tidak melakukan apa pun selain mendengarkannya dan menahan dirinya untuk tidak menarik Jaehyun ke dalam dekapannya. Ia tetap di tempatnya, duduk di ranjang, wajahnya tidak bisa dibaca.

"Dan sampai saat ini, aku masih melakukan itu semua. Ya, aku menginginkanmu." Mata sehitam arang dengan berani bertemu dengan sepasang mata biru yang tak berkedip. "Aku menginginkanmu dan juga Invictus namun aku tidak bisa melakukan keduanya secara bersamaan. Aku tidak bisa mencinta dan mengendalikan kekuasaan ini secara bersamaan. Kau akan selalu menjadi orang yang lebih baik dariku, Taeyong. Dalam hal apa pun. Dan aku sangat merasa tidak aman," Sebuah gelak datang dari Jaehyun. "Karena dalam sekejap mata kau bisa menghancurkanku, menggulingkanku, bahkan dalam keadaan mental seperti itu. Jadi aku tetap di sini, karena aku ingin menjadi lebih kuat darimu, lebih baik darimu. Dan Tuhan, aku sangat-sangat bodoh, bukan? Bagaimana bisa aku mencintai seseorang dan juga sekaligus merasa tidak aman karenanya? Dan konyolnya, aku tidak bisa menjelaskannya dengan cukup kata-kata, kupikir jika aku memilih untuk bersamamu, menyerahkan markas lokal ke squad kita, lalu memberi mereka otoritas ketiga, maka aku hanyalah seorang pecundang kalau dibandingkan denganmu."

"Tapi aku salah, 'kan?" Jaehyun melangkah mundur, mendesah ketika ia menabrak dinding keras nan dingin. "Karena, aku berani bertaruh, meskipun aku tidak punya apa-apa lagi, aku masih tetap menjadi segalanya bagimu."

"Tidak juga, jangan sombong begitu."

Respon khas itu membuatnya tertawa, sedikit mengangkat beban di dadanya. "Benar," Ia sudah tenang, dan hampa menyapanya sekali lagi. "Aku tahu alasan-alasan itu tidak valid. Lagi, aku minta maaf sudah menuduhmu... berselingkuh. Kita bahkan belum memiliki hubungan resmi." Melontarkan fakta menyedihkan itu nyaris memeras nyawanya habis. "Aku hanya... takut. Kalau aku kehilanganmu, aku tidak akan bisa menemukan orang lain sepertimu. Aku tahu itu. Tidak ada orang lain sepertimu. Meski aku membalikkan isi bumi. Aku tahu semua ini tidaklah cukup dan kau layak mendapatkan yang lebih baik dariku. Tapi, Taeyong,"

Jaehyun menyeberangi kamar dan tanpa kata-kata berlutut di hadapan Taeyong, yang masih bergeming. "Aku tidak mau kehilanganmu." Nadanya terdengar putus asa. "Kumohon, tetaplah bersamaku. Aku tahu kau lelah, tapi tolong bertahan dengan—"

"Tidak."

Waktu berhenti berjalan. Dunia berhenti berputar, dan jantung Jaehyun berhenti berdetak.

"... Apa?"

Dengan tekad bulat, Taeyong menyatakan pendapatnya. "Aku tidak mau bertahan lagi. Semua situasi ini?" Ia menekankan jawabannya dengan menunjuk tubuh mereka berdua bergantian sebelum menggeleng. "Aku tidak mau lagi. Aku tidak mau sebuah hubungan di mana aku nyaris tidak merasakan apa-apa. Kenapa kau punya perasaan untukku, Jaehyun? Karena jika aku berencana untuk memperbaiki diriku secara mental, emosional, aku harus meninggalkan semua ini dan membuangnya jauh-jauh. Karena rasanya sangat berat." Membulatkan pikirannya dan berusaha keras untuk tidak mengalah, Taeyong meninggalkan posisinya dan berdiri di sisi pria yang masih berlutut. "Ini sangat toksik, Jaehyun. Segala tentang kita. Aku tidak mau hubungan seperti ini lagi."

Saat yang lebih muda melihat ke atas, air mata telah menanti di pelupuk matanya, akan menetes dan terjun bebas membanjiri wajahnya. Ia terlihat sangat hancur. "Tapi aku tidak mau kehilanganmu. Aku sudah bilang, Taeyong." Seperti seorang anak kecil, ia meremas pinggiran celana yang lebih tua, menarik-nariknya. "Apa kau tidak dengar? Kau bilang kau merasa mencintaiku. Apa kau bohong?"

Air matanya jatuh.

Taeyong berpura-pura hati miliknya tidak remuk menjadi ribuan keping. Jika ia ingin melakukan ini dengan benar dan sesuai rencana, ia harus kuat. Bahkan air mata Jaehyun pun tidak bisa membuatnya berubah pikiran. "Aku sudah dengar semuanya dan aku mengerti. Kurasa kita harus berhenti sampai di sini."

Isakan sayup-sayup mengisi kamar tidur itu. Jaehyun menyeka rambutnya seraya menekankan tumit tangannya di atas kelopak matanya, menggumamkan sesuatu tentang tidak ingin melepaskannya.

"Hei," Suaranya lebih lembut, yang lebih tua membuat pandangannya sejajar dengan Jaehyun, menangkup pipi itu, dan menghapus air mata yang terus-menerus berjatuhan. "Lewati malam ini. Ada banyak hal baik esok hari." Dan untuk pertama kalinya, Taeyong menutup jarak mereka dengan sebuah ciuman terlembut di bibir Jaehyun, selama beberapa detik. Ia tidak ingin menghentikannya, keduanya tidak ingin, tapi ia harus menarik diri, maka ia melakukannya. Atau ia tidak akan bisa keluar dari kamar ini. "Aku yakin ada hal yang lebih baik datang untukmu."

"Tapi kau yang terbaik untukku..."

Taeyong hanya bisa memberinya senyuman kecil sambil berdiri, menatap pria yang hancur itu. "Sepertinya tidak begitu. Tidurlah."

Dan seperti itu, ia pergi, keluar dari pintu, dari apartemennya, dan mungkin dari hidup Jaehyun.

Beberapa saat kemudian Jaehyun mendorong dirinya dari lantai untuk duduk di tempat tidur lagi, masih menatap ke arah pintu dengan penuh harap. "Padahal aku ingin bilang kalau aku memilihmu."

Sebuah notifikasi masuk ke ponselnya. Jaehyun membuka dan membacanya, sebuah pengingat, pesan singkat bertuliskan 1 Juli.

"Kau pantas mendapatkannya, Jaehyun. Kau terlalu sibuk mengejar mimpimu hingga kau melupakan kenyataan."

[4] What Lies Ahead: Fated (JaeYong)Where stories live. Discover now