Part 2

843 101 1
                                    

Pukul 2 lebih dini hari.

Seisi penginapan di pinggir pantai tersebut ditutup khusus untuk sebuah pesta. Sangat buang-buang uang dan tidak penting, kata Doyoung saat mereka berdiskusi merencanakan acara ini, namun apakah grup sebesar dan seilegal Invictus bisa merayakannya di tempat umum tanpa privasi dan keamanan tinggi? Ironis, bukan?

Uang bukan masalah. Jumlah besar yang Jaehyun bayar di muka hanyalah koin-koin receh baginya. Mereka layak mendapatkan hiburan tanpa harus merasa was-was, bukan? Selama ini mereka sudah banyak berkutat di berbagai macam mata uang, jadi kenapa tidak menikmati kekayaan mereka sekarang? Inilah mimpi mereka — kekuasaan, kekayaan dan dominasi. Mereka sama sekali tidak kesusahan.

Ah, Doyoung. Terkadang ia sangat paranoid.

Cuacanya dingin, berkat angin malam. Kardigannya berkibar dengan angin, mengikuti rambutnya yang bergoyang sana-sini. Jaehyun melangkah maju ke bibir pantai, dan ketika air sedingin es menyapa kakinya, pikirannya secara otomatis terlempar ke imaji dari sepasang mata biru, tajam menusuk dan dingin membeku di antara jilatan api.

Oh, betapa ia merindukan sang empunya mata tersebut. Betapa ia merindukan menatap lingkaran tak bernyawa itu, dan diam di dalamnya seraya mata itu perlahan hidup, terlahir kembali dengan ajaib.

Sudah 8 bulan lamanya. 8 bulan hidup berjauhan. Periode terlama yang ia habiskan bersama Taeyong adalah 5 hari dalam sebulan. Dan itu pun sangat susah untuk dilaksanakan, mengingat bisnis mereka yang semakin berkembang pesat dan menuntut. Penerbangan jarak jauh itu melelahkan. Prancis bukanlah satu-satunya negara yang ia kunjungi. Invictus melayani negara-negara Asia, negara Eropa lainnya, dan jika ada, maka sejauh Amerika Serikat pun ia kunjungi.

Ia sangat merindukan Taeyong. Meskipun pria itu terkadang masih menyebalkan. Mereka tidaklah selalu akur. Tapi itulah yang membangun dinamika hubungan mereka. Jaehyun tidak akan menukarnya dengan apa pun.

Dan dalam beberapa menit, yang lebih tua akan berada dalam jangkauannya sekali lagi. Tidak ada samudera mau pun awan di antara mereka. Hanya jarak beberapa inci. Mudah untuk diraih, mudah untuk ditaklukkan.

"Semua sudah tidur. Sedang apa kau di sini?"

"Bagaimana denganmu." Jaehyun menoleh, tersenyum miring pada Johnny. "Apa kau masih terjaga karena terlalu lama bercinta? Bukankah kegiatan itu seharusnya membuatmu mengantuk setelahnya?"

"Diamlah, Jaehyun. Aku minum terlalu banyak kopi." Pria yang lebih tinggi mendengus, melirik sekilas pada area yang kini disinari bola lampu kuning dan rantaian lampu kecil yang menjuntai. Akan dimatikan esok hari, diubah menjadi lampu yang lebih liar dan meriah. "Aku tidak menduga kau akan ada di sini."

Satu hembusan angin melewati mereka, dan Jaehyun mengeratkan kardigan di tubuhnya. "Taeyong akan tiba dalam..." Ia mengeluarkan ponsel dan melihat layarnya. "10 menit. Ia akan datang bersama Fort dan para pendampingnya."

"Pendamping? Ada berapa banyak?"

Kingpin itu mengangkat bahunya dan menyimpan ponselnya kembali. "Aku tidak yakin. Aku menyuruh mereka untuk membawa berapa pun orang yang mereka mau."

Hening hadir selama semenit, dan ketika Jaehyun kembali berjalan menyusuri pantai, kakinya tertanam pasir, Johnny menanyakan sesuatu yang membuat kulitnya memanas meski udaranya sangat dingin.

"Dan siapa yang akan dibawa Taeyong bersamanya?"

Kalau saja memutar mata sekeras yang ia lakukan berakibat fatal, maka ia pasti akan mati di hamparan pasir itu. Tuhan. Ia benci anggota Venandi itu. Ia sangat menyadari kebenciannya itu mungkin saja tak berdasar (kata kunci: mungkin, karena ia tidak mau menutup segala kemungkinan yang ada), tapi siapa yang bisa menyalahkannya? Musuh akan selalu menjadi musuh. Darah mereka sudah ternodai. Pikiran mereka sudah diracuni. Niat mereka abu-abu. Kalau saja aku bisa mengusir Kim Myungsoo dari Invictus, tapi serangga itu ada di bawah pimpinan Taeyong.

[4] What Lies Ahead: Fated (JaeYong)Where stories live. Discover now