Part 20

537 78 7
                                    

Hening menjatuhi pondok. Jaehyun berdeham, jantungnya bertalu-talu keras di dalam dadanya. "Jadi itu benar..."

"Aku tidak pernah berbohong." Taeyong memandanginya dengan mata tak berjiwa. "Kecuali aku menginginkan sesuatu."

Jaehyun nyaris merasa takut. "Aku... aku mencoba melacak mobilmu karena aku ingin mencarimu setelah kau meninggalkan apartemenku."

"Aku membuang mobilnya. Masalah mesin. Yang kau lihat di luar itu baru, jadi belum ada chip yang dipasang dari Invictus di dalamnya."

"Kau tidak meninggalkan Invictus?"

"Tidak." Sang pelempar pisau menatap ke bawah dengan bibir yang dilipat dan alis yang dikerutkan, memandangi sepatunya. "Aku masih memimpin Markas Besar di Bordeaux dan kasino Red Phoenix. Bukan berarti aku bisa kabur begitu saja dari muka bumi. Invictus terhubung dengan Garnet. Aku anggota Garnet. Jadi apa gunanya aku pergi? Tapi kau..." Ia akhirnya melihat ke atas, menatap mata hitam Jaehyun dalam-dalam. "Kau akan meninggalkan Markas Besar lokal."

"Aku sebenarnya ingin memberitahumu—"

"Kau akan ikut ke Prancis dan tinggal bersamaku, Jaehyun." Sebuah tangan menarik tengkuk yang lebih muda, dengan lembut mengelus di sana. "Biarkan squad kita mengambil alih di sini. Mereka ada 5 orang. Kita akan memimpin Bordeaux bersama-sama. Tidak ada jarak lagi, tidak ada perbedaan waktu lagi." Bibir Taeyong bergerak-gerak di atas bibir Jaehyun, tapi tidak menyentuhnya. "Tinggallah bersamaku."

Terkejut, dan benar-benar syok, tangan Jaehyun melayang ke pinggang yang lebih tua, meremasnya. "K-kemarin malam... Apa ini maksudmu? Hal-hal baik?"

"Ya, Bodoh. Apa aku pernah bilang aku mau meninggalkan dirimu yang malang, Tolol?"

Taeyong mengerang lembut saat Jaehyun menariknya dalam sebuah pelukan erat yang bisa meremukkan tulangnya, membiarkan yang lebih muda menguburkan wajahnya di bahunya.

"Kemarin aku ingin bilang kalau aku memilihmu, Taeyong. Aku akan pergi bersamamu. Aku akan tinggal bersamamu. Aku benar-benar mencintaimu..."

"... Aku tahu. Jangan remukkan tubuhku."

Seperti disengat listrik, Jaehyun melepaskannya, matanya lebar dan mencari-cari. "Tadi, kau bilang—"

Namun sebelum kalimatnya rampung, bibirnya dikunci oleh sepasang bibir lain dalam ciuman yang memabukkan. Taeyong menekan bibirnya dengan lembut, beradu dengan bibir Jaehyun saat ia mengucapkan kata-kata yang sangat ingin didengar oleh yang lebih muda.

"Je t'adore (Aku mencintaimu)."

"Mon coeur bat la chamade pour toi (Jantungku berdetak untukmu)."

Dan tiap katanya, meski dalam bahasa asing yang tidak ia pahami, hatinya langsung merasa. Bibir Jaehyun bergetar gugup, setiap bagian dari dirinya berkonsentrasi penuh terhadap sepasang bibir hangat yang melumat miliknya hingga ia tidak menyadari saat Taeyong menyelipkan sesuatu di jarinya.

Ketika ia menarik dirinya dari ciuman itu, matanya terbelalak menatap cincin bermatakan zamrud yang dikelilingi emas hitam, jantungnya serasa terhenti. "... Apa ini?"

"Kau sangat menyukai cincin zamrud murahan di toko pinggir pantai itu. Aku memilih tinggal di hotel karena aku memesan cincin ini dan mengirimnya ke hotelku — aku tidak mau kau melihatnya sebelum aku melamarmu." Kata terakhir itu membuat mata Jaehyun kembali pada Taeyong. Jantung Taeyong berdetak sangat cepat; paling cepat seumur hidupnya, bahkan kenikmatan membunuh tidak bisa menyamai ataupun mengalahkan pacu jantungnya saat ini.

"Menikahlah denganku, Jaehyun. Itu bukan permintaan. Aku menyuruhmu untuk mengikat hidupmu denganku."

"Oke."

Taeyong mendengus. "Oke? Itu sangat antiklimaks. Aku mengharapkan kata-kata yang lebih bagus dari itu."

"Oke," Jaehyun memagut bibirnya dalam sebuah ciuman yang dalam, mengurung Taeyong dalam dekapannya. "Demi Tuhan, Taeyong. Oke, aku akan menikah denganmu."

Hatinya meletup-letup. Ia tidak pernah membayangkan situasi ini ketika pertama kali melihat ke dalam mata biru itu. Tapi hidup adalah permainan dan mereka adalah pemain dari takdir mereka sendiri. Mereka hanya tidak tahu mereka akan menuliskan akhir dari kisah mereka seperti ini.

Dengan gigitan yang menggoda di bibir bawah yang lebih muda, Taeyong menarik dirinya, mengambil tangan Jaehyun dan meneliti cincinnya. "Well, itu mudah. Aku hanya ingin sekali melihatmu menangis semalam jadi aku sengaja bertingkah dramatis, aku tidak akan minta maaf. Lihat." Ia mengetuk batu hijau tersebut. "Cincin berlian zamrud terkenal akan maknanya seperti cinta dan awal yang baru. Salah satu bebatuan yang paling diminati selain mirah delima (ruby) dan safir. Ada makna yang lebih dalam dan intim tapi aku malas, tolong cari saja di Google."

"Aku tidak pantas mendapatkanmu."

Taeyong mengangkat bahunya, melepaskan tangannya. "Ini bukan tentang pantas atau tidaknya. Ini adalah tentang kau menyadari apa yang akan membuatmu merasa lengkap." Menempelkan dirinya pada Jaehyun, ia menyandarkan kepalanya di atas bahu yang lebih muda. "Jangan pernah ulangi kata-kata itu lagi."

Sebuah tangan mendarat di tulang belakang Taeyong untuk menjaganya tetap dekat.

Jaehyun menghembuskan napas keras-keras. "Tadi kau bilang sesuatu. Kau tidak berbohong, kecuali ada sesuatu yang menguntungkan bagimu." Tubuh itu masih tak bergerak. "Bagaimana aku bisa tahu kalau kau tidak sedang memanipulasiku sekarang untuk tetap berada di sisimu, Taeyong? Bagaimana aku tahu..." Ia mengambil jeda sejenak, menjauhkan tubuh yang lebih tua untuk melihat matanya. "Bagaimana aku tahu kau tidak sedang berusaha mengendalikan diriku saja?"

Sebenarnya, ia percaya pada si rambut karamel meski ia bertanya begitu. Hanya saja ia ingin mendengar penjelasan apakah semua ini nyata atau tidak, dan tak peduli apa yang akan ia dengar setelah ini, Jaehyun tidak akan pergi ke mana-mana. Dan itu final.

"Kau sudah pandai menginterogasiku untuk mencari tahu yang ingin kau ketahui."

"Sekarang atau tidak sama sekali, Taeyong. Lebih baik kita selesaikan ini sekarang juga, lagi pula kau sudah memberiku cincin," Jaehyun meraba cincin di sekeliling jarinya. "Kita harus membahasnya karena di antara kita tidak pernah ada kejelasan, jika dilihat dari bagaimana kita memulai dan memperlakukan satu sama lain. Apa kau memanipulasiku? Katakan sejujurnya. Jawab ya atau tidak."

Mata biru menjelajahi sosok yang lebih muda sebelum Taeyong melangkah satu kaki mundur dan menggigiti kulit di sisi kukunya. "Aku selalu memastikan diriku tidak ada dalam posisi bersalah. Karena aku suka melihatnya di wajahmu, saat-saat di mana kau menyadari aku tidak akan pernah tunduk pada siapa pun, dalam situasi apa pun. Sekarang aku mengakui aku membutuhkanmu di hidupku lebih dari yang sudah kukatakan dan aku bilang aku mencintaimu karena aku tahu kau akan tunduk padaku. Tapi bukan berarti itu tidak benar."

"Apa yang tidak benar?"

"Waktu aku bilang aku mencintaimu hanya untuk mengendalikanmu saja. Aku akan mengajarimu sesuatu; cinta dalam kamusku berarti investasi, Jaehyun. Seperti bagaimana aku selalu memikirkan adik perempuanku sejak dulu dan hingga sekarang, meski aku tidak menyayanginya seperti kakak laki-laki pada umumnya. Aku peduli padanya karena aku melihatnya sebagai sesuatu yang pantas untuk dihargai dan dijaga. Aku melihatnya sebagai orang yang harus kulindungi, itu menjadi alasan untuk menginvestasikan diriku padanya, untuk mencintainya sebisaku, dengan caraku. Begitulah aku memandangmu, Jaehyun. Aku terbangun suatu hari dan aku tahu aku akan melakukan apa pun untuk menjagamu di sisiku karena kau memberi hidupku sebuah makna."

Jung Jaehyun menelan tiap kata itu dan menganggapnya sebagai kejujuran. Senyum simpul menghiasi wajahnya. "Jadi bagimu cinta itu investasi. Dan selama kau berinvestasi, kau tidak akan melepaskanku. Apa pemahamanku benar?"

"Aku tidak akan menyanggahnya."

Akhirnya ia paham akan inti dari hubungan mereka berdua, Jaehyun mengikhlaskannya dan menatap batu zamrud di cincinnya. "Bagaimana kau bisa tahu ukuran cincinku?"

"Mm, berdasarkan faktanya. Aku mengira-ngira ukurannya dari seberapa tebal jarimu yang kurasakan di lubangku." Ketika sang penembak jitu terbata-bata kaget, Taeyong memutar matanya dan menarik tunangannya itu ke kamar tidur, percakapan mereka barusan sudah terlupakan. "Sekarang diamlah, kita punya hal yang lebih penting untuk dilakukan."

[4] What Lies Ahead: Fated (JaeYong)Where stories live. Discover now