Part 14

450 73 5
                                    

Taeyong terbahak-bahak, merasa terhibur oleh apa pun yang dirasanya lucu. Ia melirik Jaehyun, mata birunya menggelap. "A-apa? Meneleponmu? Kau tahu kita punya perbedaan waktu 7 jam, 'kan? Dan apa yang akan kau lakukan kalau aku meneleponmu? Membuang semua kewajibanmu hanya karena seseorang yang sudah dewasa membutuhkan perhatianmu?" Ia menegakkan tubuh dengan beberapa kali terbatuk, kepalanya dimiringkan seraya menatap jiwa yang lebih muda dengan tajam. "Kau tahu, Jaehyun. Sifat alami seseorang tidak akan bisa hilang dengan mudah. Keserakahan yang ada di dalam dirimu belum hilang juga. Meneleponmu?" Taeyong mendengus. "Bagus. Panggilan video? Lebih bagus lagi. Tapi kau tahu apa yang jauh lebih bagus daripada semua itu?"

Ia tidak peduli lagi jika setelah ini Jaehyun masih tetap tidak mengerti, jadi ia langsung pada inti permasalahannya, menancapkan tombak berlumur pil pahit ke dalam hati yang lebih muda. "Kau meninggalkan Markas Besar di sini dan pergi ke Prancis. Bukankah itu rencana awalmu — mengembangkan sayapmu? Kenapa kau masih saja di sini? Apa kau menyuruhku di Bordeaux bukan karena kau tahu bahwa kesuksesan Invictus seharusnya menjadi milikku, tapi karena akan menjadi mudah bagimu untuk memiliki dua markas besar? Kita bisa saja berhubungan normal seperti yang kau impi-impikan itu, yang mana tak bisa kita lakukan."

Sudut bibirnya melengkung menjadi seringaian. "Kita tidak akan pernah bisa melakukannya karena kau masih berpikir aku ini orang gila, dan kau menyia-nyiakanku."

Jaehyun membuka mulutnya untuk protes, namun lagi-lagi, Taeyong menyuruhnya bungkam. Ia benci saat ia hendak mengungkapkan perasaannya dan seseorang memotong ucapannya. "Aku sudah belajar, Jaehyun. Semua terapi itu, obat-obatan, mereka membantuku untuk beradaptasi. Belum sepenuhnya, tapi aku sudah mulai bisa. Aku sudah bisa merasa, oke. Dan aku merasa aku tidak cukup. Aku merasa tidak dibutuhkan. Aku merasa sendirian tidak seperti yang sudah-sudah. 8 bulan, Jaehyun..."

Tidak terlihat oleh mata telanjang, tapi di dalam ia merasa remuk. "8 bulan. Tambahkan 2 tahunku di dalam rumah sakit jiwa. Aku sudah belajar, oke. Kau tidak perlu merebut alat makanku dan membuatku terlihat seperti manusia purba yang bodoh saat aku makan. Kau tidak perlu terus-menerus memperlakukanku seakan-akan aku akan mengamuk padamu tanpa alasan. Kau tidak perlu terus-menerus membuatku merasa seolah aku tidak bisa keluar dari hidupku yang suram dan kau tidak perlu menuduhku seperti yang kau lakukan bertahun-tahun lalu karena kau tidak bisa menerima fakta bahwa aku bisa berpikir dengan benar, dasar tolol."

"Taey—"

"Kau tidak mau berkorban untukku." Taeyong berkata dengan tenang dan ia mulai bisa merasakan perasaan bersalah yang menguar dari yang lebih muda. "Itu alasannya. Kau tidak mau membuat satu pengorbanan kecil untukku bahkan setelah aku rela berhenti merokok karena kau membencinya, aku masuk ke rumah sakit jiwa karena aku ingin kau menyukaiku... dan kau di sini, tidak mau melepaskan sesuatu untukku, lalu kau mengeluh karena aku menghabiskan hari-hariku dengan seorang asisten?" Menggelengkan kepalanya, ia merasakan sakit kepala yang akan segera datang. "Astaga, Jaehyun."

Taeyong mengurangi jarak di antara mereka, berhenti beberapa inci sebelum Jaehyun. "Aku bahkan belum... menyayangimu dengan benar dan kau sudah mencoba menutup hatimu, kau pikir aku akan memilih orang lain, orang yang tidak cukup kupercayai untuk kubagikan hidupku dengannya."

Seberapa lemahnya ia kini, sebenci apa pun untuk diakuinya, dan seberapa inginnya ia untuk tidak runtuh, matanya mulai terasa perih dan wajah Jaehyun terlihat buram. Taeyong tahu Jaehyun bisa melihat mata besarnya yang mulai membasah. Rasanya sangat, sangat berat. Sangat berat untuk terlibat sedalam dan seerat ini, dan mengetahui bahwa ia tidak mendapatkan sesuatu yang sepadan dari Jaehyun.

Takut. Taeyong merasa takut. Ini rasa takut, bukan? Ia takut semua yang Jaehyun miliki untuknya tidaklah nyata, dan ia takut ia sudah jatuh ke dalam jebakannya. "Kau sudah tahu bahkan tanpa perlu kuberitahu, 'kan? Bagiku, hanya kau satu-satunya, akan selalu begitu."

Hening. Jaehyun tampak bingung mencari kata-kata yang tepat, dan momentum itu pun terlewatkan begitu saja.

"Say something, you son of a bitch." Taeyong berceletuk dalam bahasa Inggris, jelas terlihat frustasi. "Ah, tunggu. Jangan bicara. Aku tidak mau mendengar omong kosongmu lagi. Satu hal lagi," Dan seakan ia tidak baru saja menangis beberapa detik lalu, sebuah senyuman merentang di wajahnya. "Tanya aku."

"...Apa itu?"

"Orang Venandi yang sangat kau benci itu tahu aku suka makan roti bakar di pagi hari. Apa kau mau tahu mengapa kau tidak tahu hal itu? Karena jika kita sedang bersama, aku lebih memilih tinggal di kamar bersamamu dan makan apa pun yang sedang kau inginkan dan itu bukanlah French toast. Semua makanan adalah pilihanmu, semua kesukaanmu. Aku ingin memakan apa pun yang kau sukai karena kupikir itu bisa membuatku menjadi semakin dekat denganmu. Rupanya bukan begitu cara yang benar. Aku bisa apa," Taeyong mengangkat bahunya. "Aku bukan orang yang berfungsi dengan normal, bukan begitu?"

"Taeyong," Jemari Jaehyun melingkari pergelangan tangan Taeyong, menariknya. "Aku minta ma—"

Dengan lembut ia menarik tangannya dari cengkeraman Jaehyun sebelum berjalan ke arah pintu, lalu berhenti ketika ia sudah mencapai kenop pintu namun tidak menoleh ke belakang lagi. Dan dalam nada suara paling tenang yang pernah ia pakai seumur hidupnya, Taeyong menanyakan sesuatu yang akan terus mengganggu pikiran yang lebih muda. "Apa kau pernah berpikir bahwa mungkin, kau tidak menjalani hidupmu dengan benar dan aku, seseorang yang kau bilang sakit jiwa melakukannya dengan benar?"

Tanpa menunggu jawaban, sang pelempar pisau meninggalkan gym dan bertemu Yuta di perjalanannya.

"Hei—" Yuta berhenti saat melihat Taeyong yang tampak menangis. Kenapa semua orang tersakiti hari ini? "Kau baik-baik saja?"

"Oh, sempurna." Taeyong mengangkat alisnya. "Seseorang menepuk nyamuk di wajahmu?"

Yuta memutar matanya dan segera menangkup pipinya yang bengkak. "Tidak ada gunanya berbohong padamu. Sicheng yang melakukannya."

Sang pelempar pisau bertingkah santai seraya mulai berjalan menjauh. "Aku sudah tahu, Nakamoto."

Ia tidak menggunakan sabuk pengaman sembari mengendarai mobilnya, sesekali melirik ke arah spion samping, lalu kembali berkonsentrasi pada jalanan.

Dengusan keluar dari mulutnya. "Berengsek. Tentu saja aku harus mengajak si bedebah itu bersamaku di sini; keparat itu mengadu domba kami berdua..." Ia melihat dirinya sendiri di cermin lagi, menyeka jejak air mata di wajahnya sebelum menepuk-nepuk bahunya sendiri. "Kau memang aktor, Ethan Lee. Tadi itu sangat melodramatis. Kini, dia akan meminta maaf dan segera menuruti permintaanmu. Seperti yang selayaknya kau dapatkan."

Ia tergelak dan nyaris menabrak seorang perempuan yang menyeberangi jalan, terlambat menyadari ia baru saja menerobos lampu merah karena benaknya dipenuhi dengan pikiran bahwa ia akhirnya berhasil menembakkan peluru ke Jaehyun yang sangat keras kepala, menanamkan ide bahwa Jaehyun seharusnya berada di sisi Taeyong, dekat dengannya. 2 tahun dan 8 bulan sudah terlalu lama baginya; tanpa adanya orang yang menjadi pusat perhatian dan ketertarikannya yang juga merupakan satu-satunya alasan untuk tetap hidup. Ia akhirnya merasa bosan.

Taeyong mengetukkan jarinya di pelipis, berharap sakit di kepalanya cepat hilang ketika ia mengingat ia punya janji dengan seseorang untuk ditemuinya. Ia menemukan kontak orang itu di ponselnya dan menelepon, berdeham saat panggilannya diangkat, ia memakai topengnya. "Soobin, apa kau sudah di stasiun?"

Merasakan wanita itu bersemangat, mata Taeyong menggelap dan cengkeraman di setirnya semakin mengerat. "Bagus. Aku akan menjemputmu di sana."

[4] What Lies Ahead: Fated (JaeYong)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang