Part 16

451 67 0
                                    

Taeyong menarik keluar sehelai saputangan dan mengikat sekeliling kepala perempuan itu, menghalangi pandangannya. "Sudah kubilang aku akan berbaik hati, bukan?" Ia merayu Soobin, melihat tangannya yang berusaha menggapai-gapai seraya Taeyong melangkah mundur untuk mengagumi wanita yang sudah mendekati ajalnya tersebut. "Soobin, apa kau tahu pekerjaanku sehari-hari untuk menghidup diriku?"

Ia tidak menunggu jawaban darinya. Sang pelempar pisau menumpukan kakinya di tanah, mendecakkan lidahnya. "Aku anggota geng, Soobin. Dulu aku menyiksa orang-orang untuk tunduk padaku, mengambil informasi penting yang diperlukan organisasiku. Kalau mereka sudah mati, terkadang aku seperti penjagal dan mengambil organ-organ mereka karena di pasar gelap harganya sangat mahal. Sekarang aku memimpin organisasi dari orang-orang yang melakukan hal yang sama denganku dulu."

"Sekarang," Taeyong berjongkok sekali lagi dan berkata tepat di telinganya, membuatnya merinding. "Apa yang membuatmu berpikir aku akan melepaskanmu... tanpa dimodifikasi?" Ia mengayunkan pisau di depan mata perempuan malang tersebut, rasa gembira yang familier menggelitik Taeyong ketika bilah itu mengenai pipi Soobin dan membuatnya menjerit. "Bukankah ini seru sekali? Aku tidak terlalu tahu bagaimana rasa seru itu, Soobin. Aku ini tidak beres. Perasaanku sangat dangkal dan juga hanya sepintas lalu, jadi aku tidak mampu merasakan suatu perasaan untuk waktu yang lama. Tapi aku sudah belajar, kau tahu. Aku mengajarkan diriku sendiri bagaimana cara bertingkah seperti kalian, kalian manusia istimewa yang punya banyak perasaan. Kau adalah seseorang yang tidak tahu terima kasih, kau tidak menghargai nyawamu dengan menawarkan dirimu sendiri pada seekor singa, Sayang. Seekor singa yang tidak peduli akan apa pun yang terjadi padamu."

"Apa kau takut, Soobin?"

Pemilik nama itu menggeliat, berusaha menarik tubuhnya menjauh. Namun Taeyong menahannya dengan menendang perutnya, berdecak melihat perempuan yang sedang mengaduh kesakitan itu. "Aku tahu bagaimana rasanya takut, Soobin. Aku mengerti. Aku merasakannya, walau tidak terlalu intens dan berlalu begitu cepat. Aku sangat berharap kau sepertiku. Jadi kau tidak akan merasa takut menghadapi takdirmu yang tak bisa dihindari."

Kata-kata itu belum sepenuhnya dicerna di otaknya ketika sebilah pisau menusuk mata kirinya, dikubur di sana hingga setengah dari benda itu memasukinya, dan ia memekik lalu melengkingkan rasa sakitnya, seraya berusaha memberontak, berusaha menarik keluar pisau yang sedang diputar di dalam rongga matanya.

"Sudah kubilang jangan berisik, Soobin. Jangan membuat keadaan ini semakin sulit." Taeyong melepaskan pisaunya dan mencengkeram kepala belakangnya untuk membuatnya stabil kemudian menancapkan senjatanya di mata kanan, ia sedikit kagum perempuan itu belum juga pingsan. Soobin histeris, menggelepar, memukul-mukul kakinya dan bahkan berhasil memukul selangkangannya. Taeyong mengumpat dan menjambak rambutnya, suara becek dari pisau yang keluar dari matanya membuat rasa sakit di kemaluannya tertahan sementara. "Jalang berengsek!"

"Tolong! Tolong! Tolong aku!"

"Aku akan menolongmu, oke." Taeyong berbicara lewat giginya yang terkatup dan memaksa mulut Soobin terbuka. Soobin menggigit jarinya dan Taeyong menyayat dadanya dengan penuh amarah, menyobek kulitnya. Ia berteriak dan dengan menyedihkan menekan dadanya agar darahnya bisa berhenti. "Bekerja samalah denganku, Manis. Ini semua akan berakhir dengan cepat."

Saat ia membuka mulut untuk mencari udara, sang pelempar pisau menjepit lidahnya dan menariknya keluar, menolak untuk melepaskannya ketika ia berusaha kabur lagi. Taeyong tidak membuang waktu sebelum menjalankan pisaunya di tengah-tengah otot tidak bertulang tersebut, membelahnya menjadi dua seperti yang ia janjikan tadi. Kini perempuan itu terlihat seperti ular yang sesungguhnya.

Darah menyemprot dari mulutnya, mengalir deras di dagunya dan bercampur dengan merah di dadanya. Soobin melemah, masih memperjuangkan nyawanya seraya memukul dan mencakar dan menendangnya sekuat tenaga. Taeyong menjaga jaraknya. Ia lebih peduli pada selangkangannya dibanding apa pun saat ini.

Dengan wanita itu mencari-cari udara dengan putus asa untuk beberapa detik sebelum hidupnya berakhir, Taeyong melemparkan pisaunya dan melihatnya menancap di batang pohon terdekat.

"Aku berharap kau akan mengucapkan terima kasih karena aku sudah membuat semua masalah ini lebih mudah." Mata dinginnya meraup sosok Soobin yang berdarah-darah menjumpai ajalnya, matanya melebar ketika perempuan itu akhirnya membuka ikat matanya dengan wajah yang dihiasi horor. Mengherankan bagaimana tanpa mata pun ia seakan tahu di mana Taeyong sedang berdiri dan melihatnya seakan ingin menuduhnya. "Yang penting niat tulusnya, bukan begitu?" Tawa keluar dari bibirnya. "Sama-sama!"

*

Menerobos kegelapan pemakaman tersembunyi milik Red Phoenix yang hanya disinari tiang lampu yang temaram, Taeyong menyeret mayat itu di atas tanah dan lumpur yang lembap. Ketika ia berhenti di depan sebuah lokasi yang tepat untuk menguburnya, ia sudah sangat lemas meski masih bernapas. Jejak darah yang ditinggalkannya masih ada di atas tanah untuk dimakan oleh para belatung.

"Anggap saja ini sebagai bayaran atas semua akibat dari perbuatanmu sebagai seorang pelacur. Dengar," Taeyong melepaskan rambutnya dan berulang kali menepuk-nepuk tanah dengan sekop yang ia temukan — sekop yang ia bawa di hari bersejarah itu, di mana ia menggali kuburan seorang musuh. Selama bertahun-tahun, benda itu masih ada di sana. Taeyong merasakan sesuatu menjalari dadanya ketika kenangan itu berputar kembali. "Sayang sekali jika aku harus membuang chip mobilku setelah ini. Apa kau tahu ada berapa banyak data di dalamnya? Anggotaku tidak boleh tahu dan tidak boleh melacak apa yang kulakukan serta ke mana aku seharian ini."

Ia mulai menggali. Menit berganti jam. Ketika ia akhirnya selesai membuat sebuah lubang yang kiranya cukup untuk menampung tubuh itu, Taeyong dengan cepat melemparnya masuk, mengisinya dengan tanah yang sudah ia gali tadi namun meninggalkan kepalanya tetap terekspos udara, agar ia bisa tetap berusaha mencari oksigen dan mati perlahan. Bagaikan menyapukan warna terakhir di karya seninya, ia mengambil sebuah batu di dekatnya dan menaruhnya di atas kuburan itu.

"Jaeseok, kuharap kau tidak keberatan harus berbagi batu nisan. Kita sudah mulai kehabisan batu. Kreatif, bukan? Toh kau tidak punya nama yang diukir di atas nisanmu." Mendengus, ia membanting sekop itu ke arah kuburan musuh lamanya. "Berbahagialah. Kau mendapatkan pemakaman yang lumayan layak, aku bahkan tidak pernah menemukan mayat ayah dan adikku, dasar bedebah tidak tahu diri."

"Ck," Ia berjongkok, menatap tempat di mana Soobin tertanam. "Soobin, jangan bilang siapa-siapa, oke? Aku benar-benar harus melakukan ini. Dan sungguh," Menyeka darah dari wajahnya, Taeyong melanjutkan monolognya. "Ada hal-hal yang orang lain tidak boleh ketahui."

Sebuah pil dimasukkan ke dalam mulutnya ketika beberapa gerakan ticnya mulai menampakkan diri. "Anggap ini rahasia kecil kita." Kingpin itu melirik sekilas kuburan Jaeseok sebelum berjalan pergi. Tiba-tiba dering ponselnya menyala di kesunyian malam, meski tidak mengejutkannya sama sekali.

Ia mengangkat panggilan itu. "Halo? Oh, ya. Terima kasih." Seperti ia tidak baru saja membunuh seseorang, Taeyong berbicara pada orang di ujung telepon itu dengan tenang. "Aku belum membaca surelnya. Aku akan memeriksanya nanti. Apa kau yakin sudah mengirim barangnya ke kamar yang benar? Bagus. Aku sedang di luar sekarang." Ia masuk ke dalam mobil dan membuang jasnya yang bernoda. "Jadi aku akan memeriksanya kalau aku sudah kembali dan aku akan memberi testimoni jika barangnya sesempurna yang kuinginkan. Benar. Terima kasih."

Panggilan berakhir, sebuah pesan masuk, membuat alisnya terangkat saat ia membaca pesan dari Jaehyun yang memintanya untuk datang ke apartemennya. "Hm, pria bodoh ini ingin bertemu denganku? Manis. Aku tahu ini adalah buah dari kerja kerasku pagi ini." Mengantongi ponselnya, Taeyong membawa mobilnya keluar dari tempat yang ia bersumpah tidak akan pernah datangi lagi.

[4] What Lies Ahead: Fated (JaeYong)Where stories live. Discover now