Part 18

448 68 2
                                    

Dengan canggung, Jaehyun membaca ulang pertukaran pesannya dengan Taeyong. Ia bimbang untuk mengiriminya pesan atau tidak, ia tahu betul yang lebih tua pasti ingin ruang dan waktu tanpa dirinya. Ia tidak rela melepasnya begitu saja. Ia sudah memahami argumen Taeyong kemarin, ia sadar ia tidak layak mendapatkan Taeyong, namun yang lebih tua sudah jatuh begitu dalam untuk disia-siakan seperti ini.

Saat ia ditinggalkan kemarin malam, Jaehyun mencoba untuk melacak keberadaan sang pelempar pisau, mencoba mencari jejak mobil Taeyong karena ia tahu ia tidak bisa melacaknya dari hotel tempatnya menginap — ia menggunakan nama samaran untuk berjaga-jaga. Namun mobilnya tidak bisa dilacak hingga kini. Doyoung berkata ada masalah dengan chipnya yang tidak lagi terhubung.

"Hah..."

Mulai merasa putus asa, Jaehyun melempar ponselnya ke sisi kasur, diambilnya kembali ketika benda itu berdering.

Telepon dari Johnny.

Dengan malas, tanpa energi yang cukup untuk berinteraksi dengan siapa pun, ia menjawab. "Ya?"

"Selamat pagi!"

Jaehyun menjauhkan ponselnya beberapa inci, alisnya mengerut seraya melihat jam. "Ini jam 4 sore, Johnny."

"Tetap saja. Biar kutebak — kau sedang berbaring, murung dan bersedih?"

Butuh beberapa detik sebelum ia merespon. "... Kenapa kau berpikir aku sedang murung?"

Pria di ujung sambungan itu gugup, terkejut. Jaehyun bisa membayangkan mata temannya itu membesar kaget. "W-well! Kau tidak datang ke kantor! Memang tidak banyak pekerjaan, hanya keluhan seperti biasa dari Tuan Lim. TAPI, kau biasanya selalu menjawab obrolan di group chat kita tidak peduli apa pun situasinya dan hari ini kau sama sekali tidak muncul jadi aku berasumsi — kau sedang, ya, murung! Dan kau tahu, masih ada masalah antara Sicheng dan Yuta dan aku tahu itu membawa dampak bagi semua orang—"

Lelah, Kingpin itu menggosok wajahnya dengan tangan. "Johnny, kenapa kau meneleponku? Kau bisa mengirimiku pesan singkat kalau tidak penting. Tidak mungkin kau meneleponku hanya untuk berkata bahwa kalian merindukanku padahal kita bertemu setiap hari." Bayangan squadnya yang merajuk membuatnya mendengus.

"Hei, pakailah baju yang layak. Cepat."

Alis Jaehyun terangkat naik. "Untuk apa?" Memikirkan ia yang harus bangun dari tempat tidurnya membuatnya merasa sangat lesu, sangat hampa. "Aku tidak ma—"

"Taeyong bilang dia ingin bertemu denganmu di tempat kalian pertama kali menjelajahi tubuh masing-masing. Aku mengutip ucapannya kata demi kata, tidak kurang dan tidak lebih."

Mendadak ia melompat dari kasurnya, seperti hidup kembali, segar dan bersemangat — Jaehyun bahkan bisa merasakan tubuhnya bersinar dengan dramatis. "Taeyong?" Harapan membaluti suaranya. "Dia mau bertemu denganku? Kenapa — kenapa di pondok?"

"Aku tidak tahu! Tapi hei, perjalanan ke sana cukup panjang jadi bersiap-siaplah, oke? Aku akan ikut bersamamu. Jangan banyak tanya! Aku akan menjemputmu."

Masih terpana dan dipenuhi semangat baru, Jaehyun terbata-bata memutus panggilan itu sebelum berlari ke kamar mandi untuk membasuh tubuhnya, berseru panik ketika menyadari ia masih menggenggam ponselnya di bawah air yang mengalir.

*

Mengenakan baju longgar dan jeans ketat, rambut yang tidak ditata dan menjuntai halus di dahinya, Jaehyun berdiri di depan pondok itu, bergeming. Di sisinya, ada Johnny yang sedang meliriknya, mengerutkan hidungnya.

"Kenapa kau tidak masuk? Pintunya tidak akan otomatis terbuka untukmu, 'kan?"

Mereka berkendara selama tiga jam dengan Kingpin yang menyuruh Johnny untuk menambah kecepatan dan bahkan melanggar beberapa lampu lalu lintas. Sederhananya, ia mendapat beberapa pukulan ringan di kepalanya karena ia sangat keras kepala. Sudah gelap sekarang, matahari sudah terbenam lagi, mengingatkannya akan kejadian kemarin malam. Ia sejujurnya tidak ingin melalui hal semacam itu lagi — bukan tentang dirinya yang berurai air mata dengan memalukan, namun ia tidak ingin merasakan sakit hati yang serupa jika mendengar kata-kata itu untuk kedua kalinya. Ia belum berhasil merekatkan hatinya kembali, dan mungkin saja ia akan segera merasakan sakit yang sama sesaat lagi.

Kau pantas mendapatkannya, Berengsek.

Ya, memang.

"Aku takut," adalah yang keluar dari mulutnya pertama kali sejak mereka turun dari mobil.

Ucapannya membuat teman sekaligus penasihatnya itu menggumam lucu, mendorongnya. "Hei, takut kenapa? Di dalam sana hanya ada Taeyong?" Ia bertanya heran.

Jaehyun perlahan menggeleng, matanya masih terpaku pada pintu pondok yang tertutup. "Entahlah, tapi aku takut."

Mata Johnny mendarat pada sisi wajahnya, mencari-cari. "Hei, Jaehyun. Aku tidak tahu kenapa kau takut pada Taeyong, apalagi orangnya itu kau — tapi aku sudah bilang untuk percaya saja padanya, bukan?"

"Kenapa sepertinya kau sudah tahu apa yang akan terjadi? Ada apa ini sebenarnya?" Ia merasakan tenggorokannya tercekat. "Kenapa kita ada di sini?"

Lelah dengan omong kosongnya, Johnny menggaruk tengkuknya dengan sebal. "Tolong, bicara saja dengannya. Taeyong — dia menyayangimu lebih dari yang kau tahu. Dan kau tidak akan tahu kalau kau terus diam di sini seperti orang bodoh." Kepalanya diarahkan ke pondok. "Pergilah."

Ia tahu ia akan baik-baik saja jika ia membiarkan rasa takut itu menguasainya, sang penembak jitu menarik napas panjang, menenangkan dirinya sebelum akhirnya masuk, berharap Taeyong akan mengintip dari celah gorden dan jendela untuk menunjukkan bahwa ia sedang menguping dari tadi.

Namun tentu saja, pemandangan yang disaksikannya tidaklah seremeh itu. Kim Myungsoo duduk dengan santai di sofa, menonton acara berita yang ditayangkan di televisi tua itu.

Segala rencananya untuk menebus kesalahannya lenyap. "Kenapa kau ada di sini?" Jaehyun memindai seisi ruang tamu dan juga dapur. "Di mana Taeyong?"

"Sebenarnya, pertanyaan yang sama untukmu." Terlihat lewat gerak-gerik Myungsoo — ia tidak melihat ke arah Jaehyun saat mematikan televisi, ia jelas tidak menghormati dan mengakui keberadaan Jaehyun seperti yang ia lakukan untuk Taeyong. "Aku tidak tahu kenapa kau ada di sini. Tuan Taeyong bilang ada sesu—"

"Oh, hei, Jaehyun!" Dua pria yang sedang membunuh satu sama lain dengan aura yang menguar dari tubuh mereka menoleh ke arah Taeyong yang baru saja keluar dari kamar tidur dengan menggunakan celana olahraga dan juga jaket bertudung — semuanya berwarna serba hitam. Tidak ada jejak masalah kemarin malam di wajahnya. Malah, ia terlihat bahagia bertemu Jaehyun. "Sejujurnya aku tidak yakin kau mau datang ke sini setelah kita bicara kemarin." Ada nada jail di suaranya yang mana tidak terlewat oleh kedua orang itu, tapi hanya satu orang yang memahaminya.

"Taeyong," Mengabaikan orang yang tidak diinginkan di sana, Jaehyun mendekati, yang mungkin sekarang adalah, mantan kekasihnya. "Aku tahu aku sudah minta maaf karena sudah cemburu tak beralasan, tapi," Hanya Taeyong yang memerhatikan senyum licik di wajah asistennya. "Tapi kenapa kita—" Bahkan mengakui keberadaan Myungsoo sulit sekali untuk dilakukan tubuhnya. "—  bertiga, ada di sini?

Taeyong mengantongi satu tangan sedang yang satunya menarik tali tudung jaketnya, mengeratkan tudung itu di sekeliling wajahnya. Ia terlihat menggemaskan. "Hm, ada beberapa alasan. Pertama-tama, aku merindukan pondok ini. Dan di mana lagi tempat yang lebih sempurna untuk mengeksekusi rencana yang sudah kubuat sejak lamaaaa sekali? Kira-kira sejak 3 bulan lalu." Lalu ia mengunyah dan meniup balon kecil dari permen karetnya, memecahkan gelembung itu dengan gelak lembut.

Jaehyun mulai bingung. "Rencana apa?"

"Nanti saja. Sekarang," Kingpin gila itu berjalan melewati yang lebih muda untuk mendekati asistennya yang langsung berdiri tegak. "Aku percaya sekretaris tercintaku punya sesuatu untuk diberitahu." Taeyong tersenyum pada Myungsoo, namun tidak mencapai matanya. Mengerikan adalah kata deskriptif yang tepat.

Myungsoo mengerjapkan matanya beberapa kali, alisnya berkerut. "Aku? Aku tidak—"

Taeyong memotongnya. "Katakan padanya." Ekspresi mengerikan di wajahnya diganti dengan raut mematikan, gelap dan membuatnya tak berdaya.

"Aku tidak mengerti..."

[4] What Lies Ahead: Fated (JaeYong)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang