Bab 14

472 83 55
                                    

Tilawah menggema melalui speaker masjid. Seusai melaksanakan salat subuh, memang selalu dijadwalkan supaya para santri mengisi waktu tersebut dengan membaca Al-Quran sembari menunggu ustadz datang untuk mengisi kajian.

Araya bergegas keluar dari masjid, menyambut matahari yang mulai naik. Waktu baru saja menunjukkan pukul delapan pagi. Selepas mengikuti kajian tadi, Araya memilih untuk duduk sebentar di masjid bersama Ashila dan Fara juga beberapa ustazah lainnya. Sekedar berdiskusi perihal kegiatan yang akan diadakan untuk kelulusan para santri nanti.

Jantung Araya berdegup kencang saat kakinya sudah berdiri di depan rumah Kyai Hasan. Sebuah mobil mobilio putih terparkir tepat di depan rumah. Setahu Araya, hari ini akan ada yang datang untuk melamarnya. Katanya, sih, putra dari salah satu pendonatur besar kepada pesantren Al-Huseniyyah. Sekaligus, merupakan cucu dari salah satu sahabat Kyai Hasan.

"Masih mau ditolak juga?" tanya seseorang di belakang membuat Araya berjengkit kaget.

"Teh Fara, ngagetin, deh." Araya mengelus dada sedang Fara hanya mendelik.

Menyadari ketidakadaan Ashila Araya memanjangkan leher melihat ke arah belakang Fara. "Ustazah Shila ke mana?" Araya sangat senang. Sebab hari ini, Ashila sudah resmi menjadi seorang ustazah di pesantren. Salah satu cita-cita Ashila dengan mengabdikan dirinya di sini. Apalagi karena, Ashila sudah tidak mempunyai rumah untuk pulang. Kedua orang tuanya sudah meninggal. Sedangkan Ashila merasa malu jika harus selalu merepotkan keluarga yang mengurusnya selama ini.

Maka dari itu, Ashila memutuskan untuk tinggal di pesantren. Dan berharap akan bertemu dengan jodohnya di sini.

"Ada jadwal ngajar katanya." Fara menjawab seadanya.

"Setahu ana, lelaki yang mau dijodohkan sama anti itu dia lulusan Kairo, loh, S2 nya aja dia di Berlin. Udah gitu dari keluarga yang baik-baik. Apalagi dia juga udah hafal Al-Quran." Fara memang tidak pernah memaksa Araya, tetapi menurutnya sangat disayangkan jika Araya menolak lamaran dari lelaki ini. Hanya karena masih menunggu seseorang yang belum tentu kejelasannya. Iya, Fara sudah tahu apa yang menghambat Araya hingga menolak perjodohan berkali-kali.

Araya menunduk dan memilih tidak merespons. Kedua bola matanya bergerak saat dua orang berdasi keluar dari rumah di antar oleh Kyai. Setelahnya mobilio putih tersebut melaju keluar pesantren. Araya bernapas lega, lalu menghampiri sang kakek setelahnya.

"Asalamualaikum, Abah." Araya mencium punggung tangan pria yang sangat ia hormati.

"Waalaikumsalam, ayo kita bicara sebentar."

Araya mengangguk, mengekori Kyai dari belakang.

****

Gerimis datang memecah keheningan malam. Bahkan cahaya temaram serta denting jam dinding menambah magis suasana kamar berukuran 3x5m tersebut. Perempuan itu menatap jendela seraya duduk di atas kasur yang hanya cukup dipakai oleh satu orang saja.

Bibirnya bergerak membaca dzikir mengikuti buliran tasbih. Ingatannya kembali pada kejadian siang tadi. Bagaimana keputusan yang ia berikan sepertinya memberikan efek tidak baik untuk keluarganya.

**

"Hapunten, Abah, Araya gak bisa menerima perjodohan ini, Abah. Aya belum siap."

Terdengar helaan napas berat di bibir Kyai yang sudah keriput. Beliau sudah lelah dengan keputusan Araya yang selalu saja menolak. Padahal pilihan calon untuk Araya kali ini insyaallah yang terbaik. Tapi mau dikata apa? Jika sang cucu memilih kembali menolaknya.

"Aya, memangnya kamu mau cari lelaki yang seperti apa? Kamu gak malu apa sama Abah? Jangan egois Aya!" Fatimah sudah dihunjam kesal. Wanita paruh baya itu sampai menggeleng berkali-kali dengan tingkah putri bungsunya tersebut.

Jodoh Yang Dinanti √Where stories live. Discover now