Bab 21

512 94 34
                                    

Mungkin memang hanya ucapan remaja labil yang bahkan tidak mengerti apa dampak dari permintaannya.

****

Gendang salawat mulai ditabuh untuk mengisi kekosongan acara pernikahan yang entah kapan akan dimulai. Namun, hal itu sama sekali tak menyembunyikan bisikan-bisikan dari pertanyaan para tamu yang sebagian sudah merasa bosan.

Sementara itu, Adnan masih berusaha membujuk pak penghulu supaya tidak meninggalkan acara karena ia yakin bahwa Fahri akan segera datang.

"Tapi Ustaz, saya masih ada pernikahan lain yang harus saya hadiri." Pak penghulu masih kukuh dengan keputusannya.

"Tolong beri kami waktu sepuluh menit lagi saja, Pak, saya yakin calon mempelai prianya akan segera datang. Karena mungkin mereka sedang terjebak macet." Lagi-lagi Adnan berusaha membujuk.

Pak penghulu tampak berpikir terlihat dari cara bagaimana beliau menyentuh dagunya. "Ah, bagaimana kalau saya pergi dulu ke acara pernikahan lain baru setelah itu, saya kembali ke sini."

Tentu saja Adnan tidak mau jika hal itu terjadi. Bagaimana pun acara akan semakin lama apabila pak penghulu pergi meninggalkan pernikahan walau beliau akan kembali lagi. Jika saja para tamu melihat, maka akan menimbulkan banyak dugaan-dugaan yang tidak seharusnya. Bagaimana bisa penghulu meninggalkan pernikahan sementara akad nikah saja belum dimulai apalagi calon mempelai prianya belum datang? Sudah dipastikan nama baik keluarga besar Kiai Hasan akan terkena imbasnya.

"Pak Sudrajat." Tiba-tiba Kiai Hasan datang bersama saudara kandungnya yang selama ini tinggal di Yogyakarta. Kiai Bahari, merupakan seorang ulama besar juga pendiri pesantren di sana.

"Bagaimana kalau kita bicarakan di rumah saja dulu, baru setelah itu kita musyawarahkan keputusannya," ujar Kiai Hasan lembut.

Baru setelah permintaan Kiai akhirnya pak penghulu yang mempunyai nama Pak Sudrajat itu lantas menyetujui. Keempat orang itu lantas memasuki rumah. Sementara Kang Santri sedang berusaha menjelaskan kepada para tamu bahwa ada kendala kecil sehingga akad nikah belum juga dilangsungkan.

🍀🍀🍀

Nathan menyender di sisi tembok dekat pintu masuk rumah Kiai Hasan. Tak urung Nathan juga khawatir, banyak pertanyaan bergumul di kepalanya. Kemana sosok calon suami Araya? Kenapa tidak kunjung datang. Ada rasa khawatir bercokol di hatinya kepada Araya. Bagaimana kabar hati perempuan itu sekarang?

Lantas pandangannya tertuju pada ke dua ulama besar yang hendak memasuki rumah diikuti seorang pria paruh baya yang memakai stelan rapi juga kaca mata bertengger di hidungnya. Dari bagaimana penampilan pria itu sudah Nathan tebak pasti seorang penghulu. Diikuti Adnan di belakangnya. Lelaki yang biasa memperlihatkan raut tenang itu jelas-jelas telah menunjukkan kegelisahan juga penuh kekhawatiran. Wajahnya pun pucat. Jika saja bisa, Nathan ingin sekali membantu sahabat baiknya itu.

Senyum Nathan berikan saat ke dua ulama itu melewatinya. Sempat mendapat sapaan dari Kiai Bahari karena beliau juga mengenal Nathan. Putra dari seorang Pranata Rahardja yang juga merupakan pendonasi besar di pesantrennya. Memang, sudah banyak yang tahu bagaimana dermawannya beliau karena mempunyai keinginan mulia dengan menyumbangkan sebagian harta yang dipunya, untuk membantu pesantren juga beberapa yayasan panti asuhan.

Nathan menepuk pundak Adnan lalu memberikan senyum tipis, mencoba menenangkan walau Nathan tahu bahwa hal itu tidak mengobati apapun. Adnan mengangguk lalu memasuki rumah.

Mengela napas berat, Nathan merogoh tasbih yang pernah Araya berikan padanya delapan tahun yang lalu. Nathan tidak tahu kenapa sekarang ia selalu membawa tasbih itu kemana pun ia pergi. Berandai jika saja dulu Nathan tidak terlambat membuka hadiah dari Araya, maka ia juga tidak akan terlambat untuk mencari Araya.

Jodoh Yang Dinanti √Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora