Bab 31

569 80 10
                                    

Sebelum lanjut membaca, jangan lupa tekan ⭐ untuk dukungan terbaik dari kalian.💚

Komen juga, supaya aku makin semangat buat up selanjutnya.

Selamat membaca. 🦋

****

"Ini masih jauh, ya?"

"Lima belas menit lagi juga sampai."

Entah sudah terhitung berapa lama sepasang suami istri itu saling diam. Araya tidak pernah lagi melirik Nathan, baginya, lelaki itu juga suka menyebalkan. Semenjak kejadian di kamarnya satu jam tadi, perilaku Nathan membuat Araya salah paham. Araya tidak mau jika terlihat baper karenanya. Bahkan ia selalu berusaha supaya pipinya tidak merona.

Lagi pula, bagaimana ia bisa bahagia? Sementara Fahri masih belum membuka mata. Ada sesuatu yang menekan ulu hatinya hingga membuatnya sesak. Beberapa saat tadi sebelum menaiki mobil. Araya mendapati kabar kalau kondisi Fahri belum ada perkembangan. Bahkan tidak ada pergerakan sedikitpun, Araya jadi merasa bersalah sendiri.

Yang terjadi padanya tadi bersama Nathan, rasanya seperti kesalahan terbesar. Jika saja Fahri tahu, ia pasti akan merasa sakit hati. Dan akan merasa sangat dikhianati. Walaupun Araya sudah menerima apa yang menimpa, tetapi tetap saja ia masih memikirkan bagaimana Fahri memandangnya nanti.

"Araya tahu, gak?" Nathan kembali membuka suara. Membuyarkan semua isi kepala Araya.

"Apa?"

"Kadang, diam itu bisa menjadikan seseorang merasa asing pada dirinya sendiri. Lalu bagaimana bisa dia membuat orang lain mengerti?"

"Maksudnya? Kenapa bicara begitu?"

Nathan menoleh. "Bagaimana keadaan Fahri? Apa sudah ada perkembangan?"

Araya merunduk, menghela napas berat lalu menggeleng pelan. "Kata Kak Rani kondisinya masih sama."

Nathan hanya mengangguk menanggapi, lantas lelaki itu membelokkan stir mobil memasuki kompleks perumahan. "Besok kita ke rumah sakit. Maaf, karena beberapa hari kemarin saya sempat melarang kamu pergi menemuinya."

Tidak tahu harus menjawab apa, Araya memilih diam pada akhirnya. Beberapa saat kemudian, mobil SUV hitam itu sampai di sebuah pekarangan rumah berlantai dua dengan halaman sangat luas. Keduanya lantas turun, memandang rumah tersebut di  sisi kanan-kiri mobil.

"Bagaimana, suka rumahnya?"

Suka? Bahkan Araya merasa lebih dari itu, ia terpana, membuatnya sulit mengeluarkan kata-kata untuk memujinya. Kata siapa rumah ini sederhana, bahkan lebih dari istimewa.

"Katanya, kita mau tinggal di rumah sederhana? Kenapa ini ... bahkan jauh dari kata sederhana." Araya bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari rumah besar itu, sementara yang ditanya hanya tersenyum simpul.

"Ini rumah saya, saya membelinya satu tahun yang lalu. Masa nggak ditempatin? 'Kan sayang. Jadi, kita tinggal di rumah ini saja." Nathan memandang rumah itu dengan napas lega. Akhirnya, ada alasan untuk tinggal di rumah ini.

Namun, Araya mengkhawatirkan sesuatu. "Tapi, ini terlalu besar, rasanya ...."

Nathan yang menyadari kegundahan perempuan itu lantas menyahut. "Jangan cemas, tugas seorang istri itu bukan selalu tentang menjaga istananya sampai dia capek. Bahkan saya nggak mau memikirkannya."

Lelaki itu tersenyum saat posisi keduanya saling berhadapan. "Saya menikahi kamu untuk menjadi teman hidup, pelengkap iman saya dan ratunya rumah ini."

Nathan tahu ia mungkin berlebihan dalam memuji, tetapi mau bagaimana? Ia hanya ingin menghibur Araya walau hanya dengan sederhana. Apalagi ia juga memerhatikan sedari tadi Araya sering melamun, mungkin perempuan itu sedang memikirkan sahabatnya, Fahri. Walau Nathan tidak tahu pasti.

Jodoh Yang Dinanti √Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt