Bab 40

595 51 3
                                    

Kamu, 'kan, tahu, perpisahan yang sesungguhnya itu adalah, ketika sepasang insan manusia dipisahkan karena surga dan neraka.

🍀🍀🍀

"Om Gian," segerombol anak-anak dari laki-laki sampai perempuan berlari menghampiri Nathan setelah lelaki itu berdiri di ambang pintu. Meninggalkan tugas mereka yang sedang belajar dengan seorang guru lelaki di depan.

Nathan berjongkok memeluk mereka, "Maa syaa Allah, jagoan-jagoan om dan princess-princessnya om belajarnya sudah pinter-pinter, ya." Kemudian mengulurkan tangannya saat mereka hendak menyalami dengan khidmat.

Araya memerhatikan itu dalam diam, kekagumannya pada sosok Nathan semakin besar, lelaki itu terlihat sangat menyayangi anak-anak. Tutur katanya sangat lembut, sikap paling manis yang baru pertama kali Araya melihatnya.

"Kenapa diam di sini? Ayo, Mbak, masuk." Bu Mitha selaku pengurus panti asuhan membuyarkan Araya dari lamunan.

"Oh, iya, mari, Bu."

Setelah berbincang banyak, memberikan paket snack kesukaan anak-anak, tidak lupa memperkenalkan Araya sebagai istrinya dan bagaimana anak-anak heboh karenanya. Nathan akhirnya memilih kembali keluar dari kelas sebab tidak ingin mengganggu lama waktu belajar mereka.

"Oh, iya, Kakak sama Papa baik banget, selain berdonatur di pesantren kami, ternyata juga mendirikan yayasan panti asuhan sendiri." Bukan sekedar memuji, tetapi Araya memang kagum pada mereka, rezeki berlimpah yang dimiliki, rupanya tidak membuat mereka merasa jemawa, justru menyedekahkanya di mana-mana untuk ladang pahala. Bukankah itu merupakan suatu keberkahan tatkala harta itu mampu digunakan dengan baik?

"Kamu tahu, 'kan, Araya, setiap bentuk yang kita terima di dunia ini merupakan ujian," Nathan menjawab bijak,  di sela-sela langkah mereka menuju taman belakang. "Sebenarnya, kadang-kadang aku merasa terbebani dengan apa yang kupunya, walau terkadang aku juga menikmatinya." Keduanya lantas duduk di sebuah gazebo berhadapan dengan kolam ikan. Bahkan Araya sempat berdecak kagum memerhatikan sekitarnya.

Araya masih setia mendengarkan, keduanya duduk saling berhadapan. Walau gugup karena dekat, tetapi Araya akan berusaha mendengarkan dengan baik saat Nathan ingin berbicara banyak hal padanya. "Beban yang akan aku pikul sangat besar saat di akhirat kelak. Apalagi orang kaya itu hisabnya paling lama, mempertanyakan dari mana rezeki mereka datang dan digunakan apa saja rezeki itu," lanjut Nathan lagi-lagi ia tersenyum.

"Lalu cara mengatasi anggapan beban itu?" Araya menyender pada sisi gazebo meluruskan kakinya lalu menepuk-nepuk pahanya, mengisyaratkan kepada Nathan untuk membaringkan kepalanya di sana. "Sini tidur, keliatan banget capeknya."

Nathan menurut tentu saja, memang Nathan sangat lelah terlebih ia belum istirahat dengan benar. Tidak menyangka juga Araya mempunyai sisi seperti ini. Seharusnya sedari dulu, ia berusaha mendekati perempuan itu, menyayanginya dan mengatakan betapa Nathan nyaman saat bersamanya. Menghormatinya sebagai seorang istri juga menjaga perasaannya. Perihal malam di acara keluarga itu dan Araya marah padanya, sebenarnya Nathan merasa sangat berdosa. Seharusnya ia bisa menjaga perasaan Araya. Karena bagaimanapun tugasnya sebagai seorang lelaki adalah mampu membahagiakan keluarganya sendiri. Seperti yang dikatakan Rasulullah SAW, bahwa seorang suami harus berbuat baik pada keluarganya.

Oleh sebab itu, Nathan mengajak Araya ke panti asuhan berharap hati perempuan itu kembali membaik.

Matanya terpejam saat Araya mengusap lembut setiap helai rambutnya hingga keningnya terlihat. "Jangan gugup gitu, nanti aku tambah suka lihatnya." Tuh, 'kan, gombalan Nathan yang hilang bertahun-tahun akhirnya kembali ke permukaan. Ia terkekeh melihat pipi Araya bersemu.

Jodoh Yang Dinanti √Where stories live. Discover now