Bab 28

558 82 4
                                    

Asamualaikum temen-temen.
Puasanya masih semangatkan?
Oleh karena itu aku datang lagi untuk kalian.
Semoga kalian puas, ya, karena part ini cukup panjang dari part2 sebelumnya.
Selamat membaca❤
Voment nya jangan ketinggalan👍

****

Sang senja sudah mulai memunculkan diri, lingkungan hangat yang selalu diisi dengan tilawah Al-Quran serta lantunan selawat mulai mengiringi teduhnya pesantren Al-Huseniyyah.

Banyak santri yang berlarian menuju masjid, berburu pahala dengan duduk di shaf pertama sembari berdizikir dan membaca Al-Quran serta memahami lebih dalam ayat-ayat suci Al-Quran sebelum azan maghrib berkumandang.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda :

"Seandainya orang-orang mengetahui besarnya pahala mendatangi adzan dan shaf pertama, kemudian seumpama untuk mendapatkan itu mereka harus mengundi, tentu mereka akan mengundinya. Seandainya mereka mengetahui keutamaan datang lebih awal niscaya mereka akan berlomba-lomba mendapatkannya."
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Sementara itu di kediaman Kiai Hasan, di salah satu kamar yang berhadapan langsung dengan indahnya masjid. Ada seseorang yang masih berduka atas apa yang telah menimpanya. Tatapannya pilu, tetapi kedua tangannya masih ia gunakan untuk memasukkan beberapa pakaian ke dalam koper. Hari ini adalah hari ke dua dimana dia masih belum bisa menerima kenyataan.

Tiba-tiba atensinya teralihkan saat derit pintu terdengar. Menandakan ada seseorang yang masuk. Air mata yang sedari tadi tertahan akhirnya terjatuh. Kedua bahunya bergetar lalu memeluk sang bunda dengan erat.

"Bunda, maaf ...." Araya membenamkan wajahnya di perut Fatimah. Menyesali atas apa yang terjadi.

Fatimah lantas duduk di tepi kasur, mengusap punggung putrinya dengan lembut, mencoba menyalurkan ketenangan. "Araya nggak salah, ini terjadi di luar kehendak kita." Fatimah mencium kepala sang putri. Dadanya ikut sesak, ibu mana yang mau melihat putrinya dalam keadaan rapuh seperti ini.

"Raya nggak mau pernikahan ini, sungguh, Bunda. Makanya Raya marah sama Abang. Harusnya Abang nggak perlu lakuin ini, Raya nggak mau." Kepalanya menggeleng kuat, tangisnya belum juga mereda. Namun, lebih baik seperti ini bukan? Daripada memendam dan akhirnya menimbulkan rasa sakit yang mendalam.

"Tapi Nathan itu bukannya lelaki yang kamu tunggu, ya? Bunda denger dari Abang. Makanya Abang menerima  Nak Nathan saat dia bersedia menikahi kamu." Fatimah mengurai pelukan, dihapusnya air mata sang putri.

"Itu di masa lalu Bunda, keinginan itu hilang waktu aku memilih menerima Fahri. Fahri segalanya buat Raya, tapi sekarang ... Raya harus apa?" Terdengar pilu kalimat itu, Araya benar-benar terluka. Ternyata benar, sebuah pengharapan akan hilang dikala dia yang selalu ada kembali hadir, lalu mengisi kekosongan yang hampir melekat tak terpisahkan.

"Ikhlaskan, terima apa yang sudah terjadi. Bunda yakin Fahri akan memahami. Dia anak yang baik, dan dia sangat sayang sama kamu. Syukuri apa yang sudah kamu dapati saat ini, Araya."

Araya tertegun, seperti ada sesuatu yang memukul dadanya keras-keras. Benar, bukankah selama ini dia selalu melangitkan nama lelaki itu, memohon pada-Nya, agar waktu dapat mempertemukannya lagi dengan sosok lelaki pilihannya sedari dulu. Dan saat semesta sudah memberi izin bahkan dengan baik mengikatnya dalam ikatan halal, dia justri melawan takdir itu?

Namanya juga manusia, terkadang dia lupa batasan  setelah apa yang dia minta kini didapat. Bukannya bersyukur  tetapi justru malah meminta lebih. Araya tertampar, perempuan itu kembali menangis. Bukan menangisi keadaan, ataupun Fahri. Melainkan dirinya yang hampir terjerumus serakah sehingga ingin mendapat lebih tanpa memikirkan orang-orang di sekitarnya. Egois sekali, jika dia marah padahal keluarganya hanya ingin memberi yang terbaik untuk kelanjutan hidupnya.

Jodoh Yang Dinanti √Where stories live. Discover now