Bab 34

455 66 5
                                    

Tasikmalaya, 2019. Musim hujan.

Gemuruh deras hujan beriringan dengan sahutan nyala sang petir, tidak jua menggetarkan sang para pencari ilmu untuk terus melangkahkan kedua kaki, berlari menuju atap teduh yang menjadi pusat obat dahaga ilmu.

Sedikit obrolan kecil tercipta dari beberapa para santri maupun santriwati, seiring sang maha guru belum menampakkan dirinya di madrasah besar pesantren Al-Huseniyyah. Lalu tidak lama setelahnya, mereka diberi intruksi untuk membaca wirid pagi terlebih dahulu sembari menunggu sang ustadz yang akan mengisi kajian pagi.

Sementara itu beberapa meter dari halaman rumah Kiai Hasan yang terhubung dengan masjid, seorang perempuan yang masih memakai mukena berwarna putih berlarian sembari memegang beberapa kitab juga buku di tangannya. Lagi-lagi semenjak semester terakhir kuliahnya ia terlambat bangun pagi. Sampai-sampai melewatkan sholat subuh berjemaah. Jika saja tidak mengunci pintu, Maka Fatimah--sang bunda--pasti akan masuk dan membangunkannya. Sebab, ketukan pintu saja tidak cukup untuk sekedar mengusiknya. Benar, kata sahabatnya Ashila, jika tidurnya memang seperti ....

"Dasar kebo, tidur kok susah banget dibangunin!"

Entah dari mana Ashila datang, tetapi tindakannya itu hampir saja membuat Araya terjungkal karena kaget. Ashila memasang raut jengkel, sedang kakinya melasak beriringan dengan Araya.

"Kebiasaan anti, datang kok tiba-tiba kayak tuyul!"

"Kayak tahu aja anti sama rupa bocah botak itu." Ashila geleng-geleng kepala. "Nggak salah lagi, nih, pasti kebanyakan nonton drama nggak berpaedah lagi, ya, di kampus? Jadinya kebawa sampe rumah, tidur malem terus, susah dibangunin, sekalinya diprotesin malah marah-marah."

Araya spontan menghentikan langkah, berhadapan dengan Ashila sedang satu tangannya tersimpan di pinggang. "Ashila, udah berapa kali aku bilang. Aku itu cuma satu kali nonton drama korea. Abis itu nggak lagi, udah tobat. Nggak mau lagi! Terus kenapa tadi malem aku nggak tidur, ya karena tugas skripsiku belum beres, Shila. Ih , kesel, deh!" Araya mengentakkan kaki, pipinya mengembung karena kesal.

Ashila menunjuk wajah Araya dengan tatapan curiga. "Bener, ya, nggak nonton-nonton lagi."

"Nggak Ashila, astaghfirullah!"

"Awas kalo bohong, ana bilangin sama Ustadz Adnan!"

"Ih jangan!" Araya merengek jengkel, satu tangannya refleks meremas tangan Ashila. Membuat si empunya terkekeh pelan.

Kemudian Ashila mengambil buku-buku milik Araya di tangan perempuan itu. "Masuk lagi ke rumah sana, ganti baju. Masa pakai mukena. Lihat, tuh, lagi hujan. Nanti mukenanya kotor kena air hujan." Ashila memang galak, tetapi perempuan itu memang paling perhatian pada Araya. Walaupun, Araya selalu saja membalas ketus jika sudah dimarahi Ashila.

"Iya, iya, nanti kalau ada yang nanya bilangin aku telat."

"Hm."

Araya segera memasuki madrasah lalu bergabung di bagian barisan perempuan paling belakang. Tertutup oleh gorden tinggi sebab menjadi sekat antara santri laki-laki dengan perempuan. Ashila dan Fara pun sudah duduk di paling depan, maka Araya tidak mungkin menyusul mereka sebab tempat biasa ia duduk sudah ditempati santriwati lain.

Beberapa kali Araya melempar senyum pada beberapa santriwati di sekitarnya, lalu fokus mendengarkan kajian dari ustaz paling dikagumi di pesantren ini. Siapa lagi jika bukan, Adnan. Sang abang kesayangannya. Beliau sedang mengisi kajian bertema pernikahan, tentu saja hal itu menjadi kesenangan tersendiri bagi para santri maupun santriwati. Termasuk dirinya, menikah, kata itu selalu menjadi salah satu alasannya untuk terus memantaskan diri juga maraup banyak ilmu. Seperti yang pernah dikatakan ustaz Oemar Mita beberapa waktu lalu saat ia menonton kajian di youtube, Beliau mengatakan bahwa, 'pernikahan itu gelap sehingga harus berpandu dengan ilmu.'

Jodoh Yang Dinanti √Where stories live. Discover now