Bab 4

684 103 87
                                    

Seperti yang sudah diberitahu sebelumnya, bahwa Bu Roida adalah guru yang paling disiplin di sekolah tidak ada yang boleh melanggar aturannya saat jam pelajaran beliau sedang berlangsung. Dan saat ia memerintah maka perintah itu harus dilaksanakan.

Seperti perintah Bu Roida kepada Fahri hari kemarin. Meminta Fahri untuk memberitahu Araya agar datang ke ruangannya. Tetapi saat hari itu tiba, pada akhirnya bukan hanya Araya yang ke sana, melainkan Fahri juga ikut. Akibat kemarin Fahri memilih bolos dengan tidak kembali ke kelas saat pelajaran Bu Roida masih berlangsung.

Dan di sini lah mereka sekarang, duduk di meja paling depan di ruangan para guru. Dengan dua lembar kertas dan beberapa soal yang harus mereka kerjakan dalam waktu satu jam. Bu Roida ikut menyaksikan bahkan beberapa guru yang lain ikut mengawasi. Membuat Araya sedikit gugup berbeda dengan Fahri yang tampak begitu tenang.

Lah orang pinter mah udah pasti cepet ngerjainnya. Araya membatin.

Beberapa kali Araya menggigit bibir, menoleh kepada Fahri yang begitu serius mengerjakan soal. Ia merasa tidak enak, jika saja Fahri tidak membantunya kemarin pasti Fahri tidak akan ada di sini sekarang.

"Fahri." Araya memanggilnya berbisik. Menoleh sebentar sebelum akhirnya ia kembali menatap lembar soal.

"Hmm." Fahri hanya bergumam bahkan tetapannya tetap pada jawaban yang sedang ia tulis.

"Maafin gue ya, lu jadi kena hukum juga," ujar Araya berbisik.

"Udah biasa." Hanya itu jawaban dari Fahri dan hal itu membuat Araya kesal.

"Kenapa jawabnya gitu sih, gak enak banget." Araya cemberut ia bahkan sudah malas untuk mengerjakan soal.

"Ya, kerjain tugasnya jangan ajak gue ngobrol. Cepetan!" Fahri berbisik gemas. Lelaki itu kadang kesal sendiri dengan sikap Araya yang terlalu meremehkan sesuatu. Seperti saat ini, Araya bahkan belum mengerjakan satu soal pun.

Araya memutar bola mata. "Iya!"

🍀🍀🍀

Kening Araya berkerut saat ia mendapatkan pesan dari Adnan kalau ternyata kakaknya itu tidak bisa menjemputnya pulang. Membuat Araya cemberut kesal. Pasalnya, Araya sudah tidak dibolehkan lagi membawa motor oleh Adnan dengan alasan takut hal serupa terjadi lagi.

Sampai akhirnya Adnan bersedia mengantar jemputnya ke sekolah. Araya refleks mengentakkan satu kakinya saat hatinya terus saja menggerutu, padahal baru satu hari Adnan menjadi supir dadakannya tetapi sudah tidak bisa menjemputnya lagi.

Lantas Araya berjalan menuju halte yang tak jauh dari sekolah. Menunggu sebentar di sana sampai akhirnya bus kota datang. Lalu menaiki bus dan duduk di salah satu kursi kosong di sana.

Beberapa menit kemudian, bus sudah sampai di depan  kompleks perumahannya. Araya turun dan segera berlalu menuju rumah.

"Asalamualaikum, Bunda oh Bunda ...." Araya berteriak setelah memasuki rumah. Atensinya tertuju kepada dua orang yang tengah menatapnya cukup tenang duduk berdampingan di sofa. Tumben, tak ada yang protes saat Araya berteriak. Setelahnya Araya menyalami tangan Fatimah dan Adnan bergantian.

"Abang! kenapa gak jemput aku di sekolah coba? Kalau di sini ternyata cuma duduk-duduk aja, uang jajan aku 'kan jadi kepake buat bayar naik bus. Gak mau tahu harus di ganti!" Araya bersidekap dada setelah dirinya duduk di sofa.

Adnan tak menanggapi begitupula Fatimah. Suasana nya jadi menegangkan bagi Araya apalagi dengan tatapan Adnan yang begitu lekat. Perasaannya jadi tidak enak, seperti ada kabar buruk yang akan mereka sampaikan.

Jodoh Yang Dinanti √Donde viven las historias. Descúbrelo ahora