Bab 20

544 93 27
                                    

Walau hanya setipis benang, tetapi aku tahu itu sebuah senyuman.

****

"Mama ragu," ujar seorang wanita paruh baya seraya membenarkan kerah baju pengantin putranya.

"Ragu kenapa?" tanya putranya tersebut dengan raut bingung.

"Bagaimana perasaanmu setelah kembali dari Yogya? Dan, bagaimana keadaan perempuan itu sekarang?" Alih-alih menjawab, ia malah kembali mempertanyakan.

Spontan raut kebahagiaan di wajah putranya meredup. Apa yang ia tanyakan pasti telah mengusik perasaan putra satu-satunya itu.

"Fahri udah diberi kesempatan untuk kembali ke sini, Ma, jangan mengingatkan Fahri tentang hari itu. Sekarang adalah hari kebahagiaan Fahri, tolong Ma, jangan merusaknya." Dengan datar Fahri melepas kedua tangan mamanya yang masih memegang kerah baju pengantinnya.

"Tapi dia hanya korban, Fahri. Bagaimana perasaannya saat kamu pergi?" Wanita yang tak lain adalah mamanya Fahri menuntut jawaban, menatap lekat Fahri meminta belas kasih di hatinya.

"Lalu bagaimana dengan perasaan Fahri yang sama sekali nggak mencintainya. Baiklah ...." Fahri berjalan mundur. "Anggap saja kejadian itu adalah kesempatan Fahri untuk meninggalkannya. Dan anggap saja Fahri memang pengecut." Seiring perkataan itu selesai, Fahri memutar tubuh dan pergi keluar kamar.

Getaran di ponselnya ia rasakan di dalam saku. Diambilnya ponsel tersebut, lalu membaca sebuah pesan dari nomor yang tidak dikenal.

Selamat ya Fahri, aku senang mendengar kamu akan menikah.

Fahri hendak membalas tetapi presensi kerabatnya di ruang tamu mengurungkan niatnya tersebut. Beberapa kali ia digoda perihal malam pengantin saat ia bergabung bersama keluarganya. Namun Fahri hanya menjawab dengan senyuman saja.

Sebelum berangkat mereka melantunkan doa supaya diberi keselamatan. Fahri menaiki mobil pengantin bersama Sang Mama dan Kakak perempuanya, juga pamannya yang mengemudi. Sedangkan tiga mobil lainnya mengikuti dari arah belakang.

Fahri menoleh ke belakang, mengulurkan tangan menggenggam lengan wanita yang sudah berjuang melahirkannya. Pelan ia berkata, "Fahri sayang Mama, maaf."

🍀🍀🍀

Sesuai undangan yang ia dapat dari Adnan beberapa minggu lalu, akhirnya Nathan kembali menginjakkan kaki di halaman pesantren Al-Huseniyyah. Pandangannya mengelilingi halaman masjid yang terhubung dengan kantor pesantren yang mulai di penuhi banyak orang. Sepertinya resepsi pernikahan akan segera dimulai. Sementara itu, tempat tamu laki-laki dan perempuan tentu saja dipisahkan.

Nathan meneguk ludah pahit, suara Araya delapan tahun lalu tiba-tiba saja menggema di kepalanya. "Tunggu aku beranjak dewasa, ya, Kak, sampai bertemu lagi."

Sontak saja ia tersenyum kecil, lalu ia menepis semua perasaan itu. Hanya di masa lalu, dan ia harus mengingatnya. Sudah, mungkin memang bukan jodoh, batinnya.

Sebenarnya, Nathan juga tidak ingin datang. Karena ia rasa, kehadirannya mungkin tidak diperlukan. Tapi, ia merasa tidak enak dengan Adnan, apalagi ia juga mengenal sosok Fatimah. Ya, ya, Nathan juga mengenal Araya walau hanya sedikit.

🍀🍀🍀

Araya masih duduk di dalam kamarnya. Memerhatikan dirinya di depan cermin. Ia bahkan sampai tidak mengenali wajahnya sendiri, wajah yang biasanya polos tanpa make up, kini begitu cantik dengan hiasan make up. Ada mahkota di kepalanya, hijab berwarna putih menjuntai sampai ke bawah, menutupi punggungnya yang terbalut gaun, mempunyai warna senada dengan hijabnya.

Jodoh Yang Dinanti √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang