Bab 15

509 93 37
                                    

"Jadi apa? Coba Abang dengerin alasan kamu. Siapa tahu Abang bisa bantu."

Senyum tipis terukir di bibir Araya sebelum perempuan itu menoleh menatap Adnan. "Mau temenan?"

Tersenyum kecil, Adnan menggeser tubuh memberi jarak, supaya tidak terlalu dekat dengan adiknya tersebut. Membuat kening Araya berkerut. "Kok menjauh?"

"'Kan, temenan, berarti bukan muhrim kalau deket-deket," katanya diiringi tawa kecil.

Spontan Araya menyenggol lengan Adnan. "Ish Abang apa-apaan, deh, candanya nggak lucu." Satu kakinya ia hentakan lalu meraih pergelangan kekar Adnan. Menyenderkan kepalanya di bahu sang kakak seraya memejamkan mata.

Tak ada yang bersuara, sebab tertutup oleh nikmatnya embusan angin menerpa permukaan kulit. Nyaman, mereka merindukan saat-saat seperti ini.

"Apa yang Abang rasain waktu pertama kali ketemu sama Teh Fara?" tanya Araya memulai pembicaraan.

Kening Adnan berkerut samar mendengar pertanyaan Araya. Walaupun tidak mengerti kenapa adiknya bertanya seperti itu, tetapi pada akhirnya Adnan memilih untuk menjawab.

"Nggak ada rasa apa-apa. Biasa aja." Adnan mengedikkan bahu.

"Ish, kok gitu. Terus kenapa malah jatuh cinta sama Teh Fara, dinikahin lagi?"

"Jodoh, lah, Aya, apalagi?"

"Jawaban yang lain ada nggak? Nggak perlu dikasih tahu juga Araya tahu, kok." Araya menekuk wajah sedang bibirnya cemberut.

Kekehan kecil terdengar dari bibir Adnan. Sudah lama, Araya tidak bermanja seperti ini padanya. Setelah menikah lalu menjadi seorang ayah sekaligus mengajar, membuat Adnan sulit memberikan waktu untuk Araya. Bahkan rasanya Adnan sampai tidak tahu bagaimana keadaan Araya selama ini. Apakah dia bahagia atau tertekan?

Kemudian, satu tangan Adnan merangkul Bahu Araya. Mencium kepala sang Adik dengan sayang. Isi kepalanya mulai menerawang jauh pada sepuluh tahun yang lalu.

***

Mini bus berhenti di dekat masjid besar kota Tasikmalaya. Lalu sepasang sepatu converse hitam mendarat tepat di atas aspal yang berdebu. Si pemilik kaki segera berjalan menyusuri trotoar menuju masjid, diiringi suara merdu azan zuhur.

Air dingin memberi damai tatkala berwudu merupakan salah satu cara menghilangkan lelah, sedangkan bersujud meringankan beban yang dipikul. Lelaki berkulit putih dan memiliki paras rupawan itu segera keluar dari masjid seusai melaksanakan salat.

Beberapa kali ia terbatuk akibat debu jalanan. Hingga tiba-tiba, sebuah botol berisi air mineral terulur padanya. Pandangannya terpaku pada gelang tasbih berwarna putih di pergelangan tangan orang itu, bola matanya bergulir dan mendapati sosok perempuan bercadar. Bulu matanya lentik, indah dipandang saat tatapan itu begitu teduh.

"Faranisa!"

Deg!

Keduanya membuang pandang, keadaan menjadi canggung. Seiring dengan itu, tangan kekar milik si lelaki mengambil air mineral tersebut. "Thank's."

"Maaf, Mas, tapi harus dibeli," ujar perempuan itu, membuatnya menurunkan kembali botol berisi air mineral yang hendak mendarat membasahi tenggorokannya.

"Saya pikir gratis." Lelaki itu menyahut sedang satu tangannya merogoh uang seratus ribuan di dalam saku.

"Kalau gratis ngapain saya kasih ke Mas? Mending Mas beli di warung aja." Datar sekali ucapan perempuan itu.

"Nama saya Adnan, dan ini uangnya." Tunggu dulu! Tiba-tiba Adnan mengerutkan kening, ia heran, kenapa harus menyebutkan nama? Bukankah perempuan itu juga tidak bertanya? Ah, Adnan merasa malu sekali.

Jodoh Yang Dinanti √Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt