Bab 38

431 60 6
                                    

Waktu sudah menunjukkan pukul 19:30 malam. Selesai melaksanakan salat isya Araya segera bersiap untuk pergi ke rumah sang mertua. Memakai gaun syar'i yang diberikan sang suami. Sebelum itu ponselnya bergetar lebih dulu, nama Adnan tertera di sana, senyum pun Araya suguhkan saking senangnya.

"Assalamualaikum, Ustaz Adnan." Araya tersenyum senang mendengar suara di seberang sana yang sangat Araya rindu.

"Waalaikumsalam, Ya, kamu apa kabar? Abang sama Bunda kangen."

"Abi, Lila juga kangen sama Aunty Aya."

Araya tertawa mendengar suara rengekan Dalila, sungguh ia juga merindukan dua keponakannya tersebut. Dalila dan Arka, entah kapan terakhir ia berbicara dengan mereka. Karena sejak pergi ke Jakarta, Araya belum lagi pulang ke Tasikmalaya. Sehingga rindu yang sangat besar pada sang bunda dan abangnya pun belum terobati.

Setelah itu, terjadi percakapan singkat sekedar menyalurkan rasa kangen dan memberitahu Adnan perihal penyambutan kecil untuknya di rumah sang mertua. Lalu permintaan Adnan dan Fatimah agar Araya segera mengunjungi mereka di pesantren. Selain itu, ada kabar membahagiakan dari Dalila dimana keponakannya itu baru saja  mendapatkan penghargaan atas prestasinya di sekolah. Sekaligus akan mengadakan syukuran besar bagi para penghafal al-Qur'an di pesantren. Tentu saja Araya diundang, ia dan Nathan diminta untuk datang.

"Adnan yang menelpon?" tanya seseorang spontan membuat Araya memutar tubuh. "Iya."

"Boleh saya bicara sebentar?" Nathan mengulurkan tangan meminta ponsel Araya. Sementara yang ditanya hanya diam menatap takjub dirinya. "Araya?" Sekali lagi Nathan memanggil perempuan itu. "Kok diam aja, sih, ada yang aneh sama penampilan saya?" Nathan berbalik menghadap cermin, memerhatikan dirinya  yang sudah rapi dan tampan dengan memakai tuxedo. "Nggak ada perasaan."

"Emang nggak ada yang aneh, kok, ini, Bang Adnan udah nunggu." Araya mengulurkan ponsel sedang pandangannya sedikit menunduk.

"Ah, iya." Mengambil ponsel tersebut, lalu menempelkannya di daun telinga. "Assalamualaikum, Bang, antum apa kabar?" Araya hendak pergi, tetapi Nathan lebih dulu menahan pergelangan tangan Araya. "Alhamdulillah, ana sama Araya juga baik." Sedikit kesusahan Nathan mengapit ponsel di antara telinga dan bahu. Kemudian berdiri tepat di belakang istrinya. "Titip salam ya, buat Abah sama Bunda, nanti insyaallah kami  segera ke Tasikmalaya."

Sedangkan Araya terkejut dengan perlakuan Nathan. Tanpa diduga lelaki itu mengambil dua pasang tali di sisi kanan-kiri gaunnya, lalu mengikatnya ke belakang. "Jangan khawatir, Araya bakal selalu baik-baik aja di sini. Ana selalu sama dia, Abang tenang aja." Kemudian menarik tangan Araya keluar kamar. "Waalaikumsalam, sampai ketemu nanti."

Nathan memberikan kembali ponsel milik Araya. Sementara Araya diam sebab masih terkejut dengan sikap manis itu.

Tenang, Aya, jangan berlebihan, batinnya berbisik sedang satu tangannya menekan dada.

🍀🍀🍀

"Kamu yakin mau dateng?" tanya Hana, sahabat baik Riani. Seorang dokter kandungan di salah satu rumah sakit besar di Jakarta. Kedatangannya ke rumah Riani untuk sekedar menghibur kesedihan sahabatnya itu.

"Gimana, ya, aku diundang sama Om Prana langsung, nggak enak kalau nggak dateng. Beliau, 'kan baik banget."

"Baik dari mana? Anaknya aja malah dinikahin sama perempuan lain. Padahal, 'kan, harusnya nikah sama kamu. Udah hampir tunangan juga." Hana menggerutu kesal setelah mendengar penjelasan Riani perihal gagalnya pernikahan Riani.

Meniup napas berat Riani menjawab, "Mungkin itu yang namanya bukan jodoh." Riani berdiri sembari menepuk ujung gaunnya. "Aku baru sadar, kalau apa yang memang bukan buat kita, ya, nggak bakal kita dapet." Ia berjalan ke depan cermin kemudian memakai blazer hangat. "Anterin aku ke rumah Om Parana, ya, aku mau dateng aja. Bagaimanapun Om Prana selalu baik apalagi beberapa hari lalu beliau dengan senang hati mau bantu perusahaan Mama dan Papa."

Jodoh Yang Dinanti √Where stories live. Discover now