Bab 7

553 83 74
                                    

Assalamualaikum temen-temen ....
Aku kembali ....
Ada yang kangen????😂😂

Baiklah sebelum kalian lanjut membaca ada yang ingin aku sampaikan.
Dikarenakan cerita ini sudah berganti judul, dari Halaqah Cinta menjadi Tasbih Cinta. Hehe (Maapkeun Author yang masih labil)🤣

Maka ada sedikit revisi di bagian prolog. Sikit kok sikit ...👌
Jika kalian berkenan kembali membaca, silakan.
Takutnya kebingungan nanti, kalau ternyata kelanjutan ceritanya gak mengarah sama prolog yang sebelumnya pernah kalian baca.

Oke segitu aja, terima kasih jika kalian sudah berkenan untuk kembali membaca.🤗

🍀🍀🍀

Araya berjalanan menelusuri koridor sekolah. Sesekali tersenyum saat ada yang menyapa. UN sudah selesai, dan alhamdulillah Araya menyelesaikannya dengan baik. Jika saja Adnan tidak memaksanya untuk terus belajar mungkin Araya akan kelimpungan sendiri saat menjawab soal ujian.

Kakaknya itu memang yang terbaik, tak pernah menyerah meskipun Araya sering sekali protes. Adnan tetap sabar.

"Lu bakal kangen sekolah gak, Ya?" tanya Fahri saat ia sudah berjalan bersejajar dengan Araya. Beberapa detik kemudian, Araya berjalan mundur. Membiarkan Fahri memimpin jalan.

"Gak, gue justru bakal kangen sama lu."

Tanpa Araya tahu, senyuman terbit dari bibir Fahri. Jawaban dari Araya membuatnya senang meskipun ia selalu berusaha menyangkal. Gue juga, katanya dalam hati.

"Lu baik-baik ya, di pesantren nanti. Pokoknya lu gak boleh bandel, harus nurut sama aturan. Inget, harus tetep bersikap baik. Dan, ya, kuliah yang bener." Hanya kepada Araya saja Fahri mau berbicara banyak—meskipun jarang—itupun jika membicarakan hal-hal yang penting saja.

"Kenapa lu jadi kayak Bang Adnan, sih! Gue itu bukan anak kecil lagi, Ri. Gue juga tahu apa yang harus gue lakuin. Jadi, lu gak usah khawatir karena gue bakal baik-baik aja." Araya berusaha meyakinkan, lantas perempuan itu menekuk kepala sembari meremas tangan.

Keputusannya untuk ikut Adnan ke Tasikmalaya tidak bisa lagi ia tolak. Sebab Fatimah—mamanya—juga akan ikut. Masa, ia sendirian di Jakarta? 'Kan gak mungkin. Masak sendiri saja Araya belum bisa.

Jeduk!

"Aduh!" Araya mengaduh seraya mengusap keningnya karena menabrak punggung Fahri yang menghentikan langkahnya tiba-tiba.

"Lu kenapa berhenti tiba-tiba, sih? Gue jadi kejeduk sama punggung tembok lu 'kan!" Araya kesal lantas ia duduk di sisi kursi panjang.

Fahri menghela napas, lelaki berusia delapan belas tahun itu membalikkan badan. Kemudian memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.

"Ada yang mau gue omongin sama lu, Ya. Sekarang aja ya, takut nanti lu keburu pergi," ujar Fahri hatinya seakan tercubit saat membayangkan Araya akan pergi. Sebab menurut Fahri, Araya selalu memberikan dua hal setiap hari untuknya. Selain sering membuatnya kesal tetapi Araya juga mampu membuatnya tersenyum. Namun, mau tidak mau kini ia harus melepaskan. Bahkan sebelum perasaannya tersampaikan.

"Apa tuh?" Araya mengalihkan fokusnya kepada Fahri sedangkan lelaki itu hanya menatap lantai.

"Terima kasih karena lu mau jaga diri lu, terima kasih karena mau memutuskan panasnya api neraka yang suatu hari akan membakar tubuh lu andai lu memilih gak pake jilbab. Gue seneng, lu nurut sama Bang Adnan. Gue lega dan ... pada hakikatnya perempuan akan jauh terlihat lebih cantik saat ia mau menutup auratnya. Sama, kayak lu, Ya." Fahri melanjutkan perkataannya di dalam hati.

Jodoh Yang Dinanti √Where stories live. Discover now