Bab 8

514 82 52
                                    

Semesta memang tak pernah suka pertemuan yang terencana antara aku maupun kamu sepertinya. Karena saat aku mulai meyakinkan hati, lagi-lagi kamu pergi.

Araya menutup buku diary bersampul warna cokelat dengan gambar beruang tersebut, setelah dirinya selesai menulis perasaan yang tak mampu ia simpan sendirian. Tangannya bergerak menyimpan balpoin lalu memasukkan buku itu ke dalam laci.

"Araya, ayo keluar! Ada Fahri di depan," Fatimah berseru di luar kamarnya tanpa membuka pintu.

Araya berjalan dengan lesu mengambil hijab instan yang tergantung di belakang pintu. Keluar kamar, lalu pandangannya langsung disuguhkan dengan penampilan Fahri yang terlihat begitu rapi dan keren. Mengobrol bersama Adnan di ruang tamu. Entah, akan kemana Fahri pergi? Itu pertanyaan pertama dalam benaknya.

"Fahri."

Fahri dan Adnan menoleh bersamaan mendengar suara Araya membuat percakapan mereka harus terhenti.

"Lu mau ke mana?" Pertanyaan pertama yang Araya lontarkan padanya, berhasil membuat Fahri tersenyum.

"Mau pamit, Ya."

Kedua alis Araya saling bertaut. Perkataan pamit entah kenapa membuat hatinya mencelos. "Pamit ke mana?" Dengan suara pelan Araya menanggapi.

"Ke Jogja. Lu lupa? Gue 'kan pernah bilang, setelah lulus gue lanjut kuliah di sana. Sekaligus, nemenin Omah."

Bagai ada belati hati Araya seakan terhantam tiada henti. Rasanya sedih, saat harus ditinggalkan oleh sahabat terbaik. Kenapa perpisahan selalu ada setelah masa SMA berakhir. Tak bisa kah, selalu sama tanpa berakhir kepergian?

"Kok, lu gak bilang sama gue lu berangkatnya sekarang? Kenapa mendadak banget?!" Suara Araya naik satu oktaf.

Fahri yang sudah tahu akan seperti apa reaksi Araya, ia memilih bersikap tenang. Senyum pun ia suguhkan. Andai ia memiliki hak untuk menghapus air mata yang terjatuh itu maka Fahri akan melakukannya.

"Maaf, ini memang mendadak banget. Alasan pertamanya juga karena, sepupu gue yang biasa nemenin omah udah nikah. Jadi sekarang, omah sendirian di Jogja," Fahri menjelaskan dengan tenang berusaha meyakinkan.

Araya menghapus air mata yang terjatuh dengan kasar. "Tapi, Ri, perpisahan di sekolah aja belum, kenapa lu pergi sekarang?"

"Apa alasan gue buat ikut perpisahan, Ya? Kalau lu sendiri aja gak ada di perpisahan itu."

"Fahri!" Araya menyentak, kedua matanya sudah memerah bahkan tanpa sadar kedua tangannya terkepal.

Fahri mengembuskan napas, tentang perasaannya hampir saja ia ungkapkan. Melihat bagaimana reaksi Araya yang langsung menyentak memanggil namanya, membuat Fahri menyadari mungkin Araya memang tidak ingin mendengar kenyataan lain yang selama ini ia simpan sendirian. Atau mungkin, justru Araya sudah tahu akan bentuk perasaan yang Fahri miliki untuknya. Dan tanpa perlu diberitahu pun Araya sudah menolaknya.

"Ekhem! ...." Adnan yang sedari tadi menyaksikan, merasa diabaikan. Lantas Adnan menyilang kedua tangannya di depan dada.

Sedangkan Araya dan Fahri langsung mengalihkan pandang. Dua sejoli yang masih dalam posisi berdiri itu perlahan merasa tak enak hati.

Karena tak ingin terlarut dalam kesedihan atau ungkapan perasaan yang sesungguhnya memang tak perlu dilanjutkan, Araya berucap, "Gue ikut anterin lu, ya."

"Cuma depan rumah, Ya. Ya Allah, kayak gue mau pergi jauh aja. Pake dianterin segala." Fahri terkekeh pelan. Meskipun ia sadar, bahwa sebenarnya keadaan di antara dirinya dan Araya belum baik-baik saja.

Jodoh Yang Dinanti √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang