Bab 41

379 55 6
                                    

Dulu ketika Araya masih tinggal di pesantren, suara merdu yang selalu menyambut paginya adalah kicauan burung, beraktivitas di dapur pesantren lalu saat siang sudah sedikit menjelang, ia sibuk di tempat pencucian baju. Sembari mendengar gemerisik dedaunan yang beradu karena tertimpa semilir angin di pohon-pohon, Araya sibuk menggelar pakaiannya untuk dijemur. Sembari sesekali berbincang-bincang dengan santriawati lain. Duh, jika diingat lagi Araya rindu sekali pada masa-masa itu.

Namun, pada kenyataannya tepat di lubuk hati yang terdalam, tidak ada yang lebih membahagiakan saat ini ketika ia harus diam sembari duduk di  kursi, menopang dagunya di atas meja, sedang pandangannya tidak lepas dari sosok lelaki yang akhir-akhir ini selalu ingin dekat dengannya. Menunduk memainkan laptop di hadapan, tatapan tajamnya begitu fokus,  jemarinya sibuk menekan huruf-huruf keyboard. Dan beberpa kali pula lelaki itu mencuri pandang padanya.

"Aku mau masak, Kak Nathan selesainya kapan?" tanya Araya. Sedikit, ia sudah merasa bosan.

"Satu jam lagi."

"Hah! Satu jam lagi?" Bahu nya merosot lesu. "'Kan mau masak, beres-beres apartnya juga belum, nanti lanjut lagi, ya, hm?" Ia membujuk Nathan—suami kesayangan.

Tangan besar Nathan seketika menutup laptop. "Yaudah, kita beres-beres bareng." Lelaki itu berdiri, merentangkan tangan kemudian. "Aku juga nggak bisa kerja kalau istriku juga kerja."

"Loh, 'kan kerjaannya Kak Nathan masih banyak." Araya berjalan mengikuti langkah lelaki itu.

"Tenang, masih ada waktu malam, eh ..." Nathan menggeleng cepat. "Maksudnya hari esok."

"Kenapa harus besok, bukannya kalau malem langsung kelar kerjaannya."

Nathan meringis sembari berkacak pinggang. Memutar badan berhadapan dengan Araya, kemudian berucap, "Karena nanti malem ... aku juga punya tugas lain." Senyum lelaki itu sungguh aneh di mata Araya, sorot matanya menyimpan sesuatu yang tidak Araya pahami. Bahkan meski tangan suaminya mengusap rambut yang digerainya hingga berantakan, Araya tetap saja tidak mengerti.

"Yaudah terserah, deh, mau beberes dulu abis itu siap-siap pulang, ya?" Sebelum langkah terakhirnya sampai di pintu kamar apartemen, tiba-tiba dua tangan besar melingkari pinggangnya. Tubuh Araya seketika membeku, perlakuan Nathan benar-benar membuatnya mati kutu.

"Kita tinggal di sini lagi aja gimana?" Nathan menyimpan dagunya di bahu Araya, memeluk perempuan itu nyaman.

"Ke-kenapa?" Araya gugup nggak keruan.

"Soalnya di sini nggak ada Bi Sari atau Pak Rusdi. Cuma kita berdua aja, gimana?" tanya Nathan lagi, lelaki itu menunggu jawaban Araya, walau dalam hati ia berharap Araya tidak langsung membuat keputusan. Modus dikit gitu biar deketan terus sama Araya.

Kemarin sore setelah pulang dari panti asuhan, Nathan malah mengajak pulang  ke apartemen bukan ke rumah. Alasannya sungguh tidak masuk akal, katanya di rumah banyak orang takut ada yang menganggu. Padahal di rumah saja cuma dihuni empat orang, Araya, Nathan, Bi Sari sama Pak Rusdi, itu pun mereka sibuk sama pekerjaan mereka sendiri.

"Keganggu banget ya sama Pak Rusdi sama Bi Sari? Padahal mereka baik, nggak ganggu kita juga, 'kan kasian kalau Pak Rusdi sama Bi Sari ditinggalin di rumah. Nanti mereka kerjanya gimana, Pak Rusdi punya keluarga, Bi Sari juga. Kalau kita pindah dari rumah terus tinggal di apartemen, ya otomatis mereka harus diberhentiin, dong?" ujar Araya menggebu-gebu, mengkhawatirkan sesuatu yang belum  tentu akan terjadi.

Tentu saja hal tersebut membuat Nathan ingin tertawa, lelaki 29  tahun itu menggigit bibirnya kuat-kuat agar tidak memecahkan tawa. "Ya, ng-nggak, lah." Menenggelamkan wajahnya di bahu Araya, spontan membuat Nathan akhirnya tertawa juga.

"Serius dianggap lucu?" Araya menghentakkan kedua tangan Nathan. Lalu memukul dada suaminya pelan. "Aku mau beresin kamar, jangan lupa buat keputusan gimana kelangsungan kerjanya Bi Sari sama Pak Rusdi kalau kita pindah ke apartemen." Kemudian memasuki kamar dan menutup pintu rapat-rapat.

Sumpah, ya, Nathan benar-benar buat Araya hampir saja jantungan. Mungkin memang hubungan mereka pernah jauh dari sekedar melakukan hal tersebut, saat malam di mana ketika itu Nathan datang dalam keadaan tidak sadar.

Makanya, saat Nathan bersikap manis tadi, dan tulus melakukannya. Rasa-rasanya Araya ingin langsung tenggelam saking malunya.

Sementara itu di balik pintu kamar yang tertutup Nathan memukul-mukul dadanya, beberapa kali pipinya mengembung mencoba mengambil napas lalu mengeluarkannya pelan-pelan. Hampir saja tadi kesabarannya terkuras, jika Araya tidak cepat-cepat pergi.

"Masak, masak, masak." Nathan mengalihkan perhatian, lelaki itu menuju dapur untuk menyiapkan sarapan yang tertunda.

🍀🍀🍀

Gimana, ada yang kangen Araya sama Nathan, nggak?


Jodoh Yang Dinanti √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang