20. Fakta Yang Sebenernya

4.6K 454 9
                                    

“Hanya benturan ringan. Pasien bisa dipastikan tidak mengalami geger otak atau semacamnya. Hanya saja bagian kaki dan punggung tangannya terkilir. Beberapa hari dirawat, InsyaAllah pasien akan sembuh total asalkan rajin meminum obat dan istirahat secara teratur” papar Pak Dokter kepada Banu dan Atlantas di depan pintu ruang inap Abel.

Rendi telah pulang beberapa saat lalu sejak orang tua Nabila menelpon agar putri mereka segera pulang ke rumah. Sebagai pacar yang baik tentu saja Rendi mengantarkan Nabila pulang.

Banu mengangguk. “Baik, terima kasih, Dok.”

“Sama-sama. Kalau begitu saya pergi dulu. Kalian udah bisa jenguk pasien di dalam.”

“Iya, Dok.”

Atlantas memejamkan kedua matanya. Tangannya terkepal erat di dalam saku celana. Emosinya terasa berkobar-kobar, namun ia tahan.

Banu membuka pintu ruang inap Abel. Memperhatikan kondisi cewek tersebut yang terbaring lemah di brankar dengan selang infus yang terpasang di punggung tangannya. Ia segera duduk di samping brankar Abel. Tak lama habis itu Atlantas masuk.

Hening.

Atlantas melirik ke arah Abel. Wajah cewek tersebut tampak membiru walaupun sudah dioleskan salep.

“Gue gagal lagi, Tas,” ucap Banu memecahkan keheningan diantara mereka dengan penuh nada penyesalan. “Gua nggak becus jadi seorang Abang bagi Abel. Gue gagal, selalu. Bahkan dari dulu sampai sekarang gue nggak pernah berhasil jaga Abel. Kelalaian gue selalu buat dia celaka.”

“Itu musibah,” sahut Atlantas. “Lo udah jaga Abel, semua ini diluar kendali kita sendiri.”

Banu menunduk. Digenggamnya erat tangan Abel yang terpasang infus tersebut. “Gue harus ngomong apa ke orang tuanya Abel. Gue nggak berani. Gue takut mereka bawa Abel balik ke Kalimantan pas tau masalah ini.”

Atlantas menatap wajah damai Abel yang terlelap. Banu mengangkat wajahnya. Ia tau kalau Atlantas tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Abel sejak masuk tadi.

“Gue tau lo udah sadar,” ungkap Banu tiba-tiba membuat Atlantas mengernyitkan dahi. “Gue tau kalau lo cowok di masa lalu Abel.”

Atlantas tertegun.

“Gue nggak nyangka kalau lo bakalan sadar secepat ini,” sambung Banu sambil terkekeh. “Siapa sangka si Raja Jalanan inj ketemu lagi sama gadis masa kecilnya.”

Atlantas menghela napas panjang. “Bacot!”

Banu tersenyum tipis. “Gue mencoba buat lo nggak sadar kalau Abel adalah cewek di masa lalu lo, Tas. Tapi siapa sangka lo udah sadar duluan.”

Banu meletakkan tangan Abel ke sisi kasur. Ia tersenyum tiois. “Gue udah tau dari awal. Bahkan jauh sebelum Abel datang ke Jakarta.”

“Mungkin lo nggak sadar. Waktu itu gue lihat foto di kamar rumah lo yang berada di Bandung. Itu foto lo sama Abel pas di rumah sakit, kan?”

Atlantas berdecak. “Kapan lo masuk ke kamar gue, hah?!”

“Pas gue masih kelas 10.”

“Udah selama itu?” Atlantas menatap sengit ke arah Banu.

“Iya.”

Atlantas mengacak-acak rambutnya. Kesal dan emosi bercampur menjadi satu.

Banu melirik ke arah Atlantas. “Asal lo tau aja ya, Tas, yang motoin waktu itu gue, bego!”

Atlantas kaget. “Lo?!” tanyanya tidak percaya.

“Iyalah,” jawab Banu jujur.

Banu bersandar di kursi dengan tangan yang terlipat di atas dada.“Dari kecil gue sama Abel itu udah deket banget, Tas. Barengan juga sama si Rendi asal lo mau tau aja. Kita bertiga tuh udah kayak sodara kandung,” papar Banu menceritakan. “Waktu itu Oma kita sakit keras. Jadi, orang-orang tua kita—minus bokap gue pada jenguk beliau. Otomatis terkumpul dah tuh gue, Rendi, sama Abel.”

ATLANTAS || ENDWhere stories live. Discover now