29. Malam Minggu

3.9K 397 45
                                    

“Entah sampai kapan kita akan tetap memiliki tujuan yang sama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Entah sampai kapan kita akan tetap memiliki tujuan yang sama. Entah berapa lama rasa yang kita punya akan tetap berada di dalam sana. Entah bagaimana kita akan tetap saling mengeratkan genggam untuk melalui perjalanannya. Entah apa akhir yang sedang menanti kita di ujung sana. Tapi yang terpenting saat ini adalah bagaimana caranya aku bisa menjagamu seutuhnya—hanya untukku,” —Atlantas.

🏍️🏍️🏍️

Abel berjalan bersisian dengan tangan yang masih digenggam erat oleh Atlantas di dalam saku jaket. Rasanya sangat pas dan hangat. Wajah Abel jadi bersemu merah. Dia sangat malu tapi juga mau terus seperti ini.

“Kak Atlas,” panggil Abel pelan. Mereka masih berada di Dufan. Berkeliling-keliling tidak jelas, namun terasa sangat mendebarkan.


“Hm?”

“Kita pacaran?” tanya Abel polos. Dia takut  kalau semua ini hanyalah mimpi belaka. “Benar, kan?”

“Iya,” jawab Atlantas datar.

Abel menggigit bibir bawahnya—menahan senyuman. Astaga, rasanya dia ingin berteriak saat ini juga.

“Kita pulang sekarang, kah?” tanya Abel kepada Atlantas. Dia menatap rahang cowok tersebut dari samping. “Belum malam banget, lho. Kita jalan-jalan ke lain aja, gimana?” tawar Abel. Dia masih ingin bersama cowok tersebut.

“Mau ke mana?” tanya Atlantas balik.

Abel menatap Atlantas tidak percaya. Dia pikir cowok tersebut akan menolak ajakannya.

“Eum, Abel juga nggak tau. Terserah Kak Atlas aja deh, Abel ngikut aja.”

“Hm. Yaudah, kita makan dulu.”

“Oke!” Abel tersenyum lebar. Sangat manis.

Wajah cantik Abel tampak bersinar malam ini. Atlantas melirik cewek tersebut sebentar, lalu tersenyum tipis. Dia mengeratkan genggamannya.

“Kita makan seblak.”

“Eh, seriusan?” Abel tertawa pelan. Dia benar-benar merasa bahagia malam ini.

“Iya.”

“Emangnya Kak Atlas suka makan seblak?” tanya Abel ingin lebih tau tentang cowok tersebut, tapi seingatnya cowok tersebut memang tidak menyukai seblak.

“Nggak.”

Kan, benar kata Abel. Dia hanya manggut-manggut.

“Tapi, gue bakalan coba suka biar lo nggak makan sama cowok lain,” sambung Atlantas tiba-tiba. “Gue nggak suka. Jadi, bantu gue suka sama seblak. Bisa, kan?”

Wajah Abel tambah bersemu merah. Atlantas menatap wajah memerah itu. Dia hanya berdehem pelan, lalu membuang muka.

Sedangkan Abel hanya bisa menahan jeritannya. Dia gugup. Jantungnya bahkan berdetak sangat kencang. Dia takut kalau Atlantas mendengarkannya.

ATLANTAS || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang