🌼 PROLOG 🌼

3.1K 151 83
                                    

Inginnya Dera, ia hanya akan menjalani masa 12 tahun sekolahnya dengan biasa-biasa saja.

Tidak ada salahnya, 'kan, menjalani hidup semasa sekolah dengan belajar dan mengerjakan tugas sebaik mungkin? Itu prinsip yang ia pegang sejak kecil, dan itu juga yang selalu diajarkan oleh Ayahnya.

"Tugas murid itu belajar yang baik," ujar Ayahnya sebelum membuang coretan-coretan yang ia buat dari krayon atau pensil warna saat ia masih kecil.

"Lima puluh meter ke utara, belok kanan."

Dera menepikan motor matic-nya pelan-pelan sebelun berhenti sepenuhnya di tepi trotoar. Ia meraih ponselnya yang ia taruh di saku motor dan melihat penanda jalan yang ditunjuk di layar.

"Haah ...." Ia mendesah.

Sudah beberapa kali Dera menepikan motornya untuk sekadar menengok Maps. Konsekuensi gara-gara dia tidak punya stand untuk menaruh ponselnya di spion, atau menggunakan pelantang telinga nirkabel.

Diam-diam, sebenarnya ia juga merutuki peraturan konyol yang tidak membolehkan menaruh ponsel di samping spion atau memasang pelantang telinga saat mengendara. Masalahnya, untuk pergi ke suatu tempat menggunakan Maps, Dera membutuhkan dua benda itu.

Tentu saja, telinganya tidak dapat mendengar suara robot di tengah jalan yang bising, kan? Juga, ia tidak akan selalu menempatkan kedua matanya di ponsel saat berkendara, Dera tidak sebodoh itu untuk mencelakakan diri sendiri. Ponsel pintar harusnya bisa membantu manusia, cuma ada segelintir manusia yang suka bikin ribet sendiri dan tidak paham cara mengoperasikan ponsel pintar.

"Hmm, pertigaan ini ...." Dera mencocokkan jalan raya yang asli dan yang ada di ponselnya selama kurang dari lima menit.

Setelah dirasa cukup, ia kembali menghidupkan mesin motor dan melanjutkan perjalanannya.

Ucapan Bu Fresya kemarin siang masih terngiang-ngiang di kepalanya. Bu Fresya adalah salah satu manusia yang ternyata suka bikin ribet sendiri—ralat—bahkan, meribetkan kehidupan orang lain.

Kurang dari satu tahun harusnya Dera akan lulus dengan lancar dan aman sentosa dari SMK, lalu, sesuai dengan rencana Ayahnya, ia akan berkuliah di kota lain sambil menjadi tenaga kerja harian di kantor seorang kolega. Namun, Bu Fresya datang, memanggilnya masuk ke ruang guru dan mempertemukannya dengan seseorang.

Ia masih ingat ciri-ciri seorang siswi yang duduk di ruang guru kemarin, seorang siswi yang jarang ia lihat di sekolah.

"Nah, Dera, mulai sekarang, kamu akan jadi mentor dari Anya."

Bu Fresya mengatakan itu setelah mengenalkan dirinya dengan siswi bernama Anya itu, juga sedikit menjelaskan permasalahannya dengan singkat.

Dera menolak, ia merasa tak mampu untuk mengajari orang. Namun, Bu Fresya punya sejuta cara untuk menahannya.

"Oh, tentu saja, Ibu punya hak untuk tidak menerbitkan ijazah kamu."

Skak mat, dead end, serangan telak, apapun itu!

Lelaki itu jadi mau tak mau harus menerima permintaan Bu Fresya demi kelengkapan dokumen yang ia butuhkan nanti. Sekarang ia sedang menuju ke rumah siswi bernama Anya itu.

Butuh waktu lima belas menit perjalanan sampai ia tiba di sebuah toko bunga dengan tanaman yang rimbun dan rumpun kelopak bunga yang tampak cerah.

"Ini rumah Anya?" Dera mendongak, membaca papan nama bertuliskan 'Anyelir Florist'.

Tanpa basa-basi dan perasaan apapun, Dera melangkahkan kakinya di serambi toko. Tangannya mendorong pintu kaca, lonceng dan engsel pintu yang sudah berkarat berbunyi, kurang dari satu jam setelahnya, Dera ajan melihat sesuatu yang membuatnya terkejut dengan perasaan yang campur aduk.

Blooming Between UsTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon