🌼7-Dera dan Kata-kata yang Tidak Dapat Diucap

451 50 13
                                    

Setelah es teh bunga telangnya habis sampai separuh gelas, Anya mengajak Dera pergi ke lantai tiga.

Sore sudah benar-benar berganti menjadi malam, langit oranye telah berubah menjadi, bukan sekadar merah muda seperti soda, melainkan biru tua. Langkah kaki Anya dan Dera berkelontang, menapaki plat-plat baja tangga spiral yang terletak di halaman samping.

"Satu-satunya akses dari lantai tiga cuma dari sini," kata Anya, menerangkan.

"Kalau hujan?" Dera bertanya.

Anya menoleh ke belakang. "Tinggal pintar-pintar aja naik sambil bawa payung ke atas."

Dera mengangguk-angguk, beruntung sekarang sedang musim kemarau, tidak perlu repot-repot naik sambil mengatur payung agar tidak tersangkut-sangkut.

"Biasanya pakai payung yang kecil?" tanya Dera.

"Kalau aku dan nenek sih sekalian aja pakai mantel," jawab Anya.

Wah pintar juga, Dera membatin.

"Pasti Kakak tidak kepikiran, ya?"

"Penyihir!" Dera memekik.

"Apa sih?!" Anya menoleh dan sama-sama berteriak tidak terima. "Dari tadi penyihir terus!"

"Lagian, dari mana kau bisa membaca isi pikiranku?!" tanya Dera.

Haa?

Anya hanya mengepalkan tangannya, kemudian mengembuskan napas dan memutuskan untuk terus naik, tidak melayani racauan kakak kelasnya yang dikatakan pintar itu.

Yah, nyatanya, dia tiba-tiba jadi agak bego begitu, batin Anya.

Gadis itu memang mewajarkan reaksi Dera, hanya saja, ia tidak sampai kepikiran kalau efeknya bakal membuat orang jadi out of character begini. Siapa pun pasti tidak percaya, jika neneknya—atau bahkan mungkin mendiang Ibunya juga?—bisa menumbuhkan bunga dengan cepat sekaligus menjodohkan dua orang menjadi sepasang kekasih.

Saat pertama kali menemukan pupuk itu saja dia juga tidak percaya. Namun, mau bagaimana lagi? Anya juga lah saksi mata yang melihat para pelanggan menggunakan layanan spesial itu, dan mereka yang dihadiahi "bunga ajaib" itu saling tersenyum.

Anya tidak paham saat itu, bahkan sampai sekarang, tapi wajah mereka seperti bahagia dan berseri-seri, apakah mereka benar-benar dalam situasi sedang saling mencintai? Apakah benar gara-gara bunga itu?

Mereka pun akhirnya menginjak dak beton lantai 3, melewati rumah kaca untuk tempat menyimpan pembenihan tanaman yang biasa Anya lihat. Gadis itu mengeluarkan kunci ruangan di bawah tandon air, memutarnya dan kemudian mendorong pintu besi itu. Engselnya yang sudah tua berderit merobek sore hari yang baru saja datang.

"Kenapa tidak menanam bunganya di rumah kaca juga?" Tanya Dera. "Maksudku, kenapa harus sembunyi-sembunyi begini?"

Anya mengangkat kedua bahunya. "Aku hanya meneruskan kebiasaan nenek. Nenek melakukannya di tempat yang seperti ini, mungkin memang biar tidak ketahuan orang dan membuat mereka kaget seperti Kakak?"

Dera mengerjap mendengar jawaban Anya yang juga sama-sama ragu. Walaupun memang, ya, ada benarnya. Dera dapat membayangkan kalau tiba-tiba di rumah kaca berkelip sinar keemasan setiap beberapa saat. Rumah kaca di atas ruko ini dapat dilihat dari jalan raya, mungkin, pertama kalinya, tetangga atau siapapun yang lewat akan mengira itu bohlam. Namun, lama-kelamaan?

Laki-laki itu bisa menebak, bisa saja tetangga menganggap keluarga Anya melakukan pesugihan. Dera bergidik, sesuatu ini memang di luar nalar.

Mereka masuk bersama-sama. Mumpung di luar sedang cerah dan tidak ada mendung, cahaya bulan masih dapat masuk melalui ventilasi yang ada di keempat sisi dinding. Tak susah bagi Dera yang berkacamata untuk melihat apa isi di dalam gudang, begitu juga bagi Anya untuk mencari saklar lampu.

Blooming Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang